islam,mahkota islam,moslem,muslim,solusi,solution,sains,technology,teknologi,quran,nusantara

Halaman sebelumnya :


     Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Ayat pertama (Bismillahir Rahmanir Rahim) sampai ayat keempat (Malikiy Yaumiddin) mengandung pokok-pokok ilmu ma’rifat (pengetahuan tentang Allah dan alam akherat yang menimbulkan keimanan sebagai bagian kepekaan perasaan/hati). Ayat keenam (Ihdinash Shirathal Mustaqim) dan ketujuh (Shirathalladzina An’am ..) mengandung pokok-pokok ilmu syari’at dan alam dunia (pengetahuan alat dan jalan keselamatan sebagai bagian akal pikiran). Sedangkan ayat kelima merupakan pembatas antara ilmu ma’rifat dan ilmu syari’at, dimana satu pintunya (iyyakana’budu) menghadap kearah ilmu ma’rifat dan pintu yang lain (iyyakanasta’in) menghadap kearah ilmu syari’at. Ayat kelima membicarakan esensi manusia dan tugas yang diamanatkan kepadanya. Hal ini sekaligus memberi pengertian bahwa esensi manusia mempunyai dua sisi, sisi ke arah alam akherat dan sisi ke arah alam dunia.
     “Iyyakana’budu” sebagai pintu yang menghadap ke atas mempunyai arti bahwa ilmu ma’rifat yang benar hanya bisa dicapai dengan penghambaan yang benar. Seperti halnya hamba sahaya yang baik, dimana segala kehendaknya tergantung tuannya. Bila sihamba masih bertindak berdasar kehendaknya sendiri yang bukan atas kehendak tuannya maka ia belum bisa disebut hamba yang baik. Hamba yang benar adalah seorang faqir yang tidak menyisakan bagi tindakannya kehendak pribadi. Seorang faqir yang benar selalu merasa lemah dan butuh terhadap-Nya. Untuk alasan inilah Rasulullah saw dikondisikan oleh-Nya sebagai hamba yang ummi agar dalam perkembangan jiwanya tidak ada dominasi akal yang rentan keakuan oleh sebab pengetahuan yang diusahakannya. Pengetahuan yang diterima Rasulullah saw adalah ilham. Pengetahuan ilham yang bukan hasil usaha pemikiran sendiri tidak menimbulkan keakuan. Tauhidullah tidak menerima keakuan. Ilham diawali pertanyaan di dalam perenungan/tafakur. Bukti bahwa pengetahuan yang Beliau peroleh merupakan bentuk ilham adalah kenyataan bahwa setiap kali disodori oleh pertanyaan baru oleh para sahabat maupun pendeta nasrani, beliau lebih dulu diam, bertanya kepada hati ruhaninya yang hidup penuh cahaya-Nya. Tetapi apa yang kami uraiakan bukan berarti menganjurkan untuk mematikan akal pikiran, hal seperti ini sama saja menyebarkan kebodohan. Yang dikehendaki Al-Fatihah adalah jangan men-Tuhan-kan akal pikiran. Setiap permasalahan ada petunjuknya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Bila tidak ditemukan petunjuk di dalam keduanya bukan berarti tidak ada tetapi petunjuk tersebut samar (ada dalam makna batinnya), disinilah tugas akal pikiran dan kejernihan hati bersama mengkaji/menganalisa Al-Quran dan As-Sunnah yang berhubungan dengan permasalahan tersebut, sebagaimana dzikir yang berhasil adalah dizikir yang memadukan hati dan pikiran yang menghasilkan tafakkur. Dua ayat terakhir Surah Al-Fatihah meniscayakan penggunaan akal pikiran (pemikiran logis) untuk permasalahan muamalah horisontal (misal hubungan dagang dan pemerintahan) dengan pondasi/landasan dasar ilmu syari’at (shirathal mustaqim). Ayat pertama sampai keempat merupakan ruang penggunaan hati. Akal tidak akan sanggup mengarungi ilmu ma’rifat. Andai bisa, hanya sebatas kulit karena akal berhasil mengenal/memahami sesuatu setelah terbentuk visualisasi (gambaran) dimemori otak. Sedang kedalaman yang merupakan ‘rasa’ dari ilmu tersebut tidak ada ‘getaran’/’sentuhan’ di hati. Hanya hati yang jernih yang mampu menyentuh kedalaman ilmu ma’rifat.
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Qs. Al-Waaqi’ah : 79)
‘Menyentuh’ pada ayat di atas mempunyai arti menyentuh dengan hati/mengetahui makna rahasia/batin Al-Quran yang merupakan bagian dari ilmu ma’rifat. Ketika Nabiyullah Ibrahim as. dihadapkan pada suatu permasalahan besar yaitu perintah menyembelih Nabuyullah Ismail as. maka beliau mengesampingkan pikiran normalnya dan mengedepankan kepekaan perasaannya yang penuh keyakinan dan cinta kepada Allah Rabbul Alamin. Maka Nabiyullah Ibrahim membuktikan cintanya kepada Allah dan Allah SWT menganugerahinya gelar Khalilullah (kekasih Allah). Kedekatan, keyakinan, dan ma’rifat menyelimuti segenap jiwa Nabiyullah Ibrahim as. Pengalaman dan kejadian yang dialami sendiri seperti yang terjadi pada Nabiyullah Ibrahim tersebut membentuk pengetahuan ma’rifat yang menghunjam kuat di dalam hati. Kepercayaan yang tidak sekedar percaya tetapi kepercayaan yang kukuh berupa keyakinan, yang tidak mudah goyah oleh guncangan. Karena alasan seperti inilah Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur. Sebagian besar ayat turun menerangkan suatu peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah saw mengemban Risalah. Sehingga ayat-ayat Al-Quran dipahami oleh para sahabat pada tingkatan yakin karena terjadi dan dialami sendiri.
“Iyyakanasta’in” sebagai pintu yang menghadap ke bawah mempunyai arti bahwa ada banyak cara dan jalan untuk mencapai dan meraih sesuatu tetapi hanya cara dan jalan yang lurus saja yang memberikan keselamatan. Cara dan jalan lurus inilah yang seharusnya senantiasa dimohonkan kepada Allah SWT sedangkan semua keduniawian sebagai alat dan sarana pendukung jalan keselamatan tersebut otomatis ikut juga. Dan semua permohonan seharusnya disampaikan kepada Allah bukan kepada selain-Nya.
     Di langit ketujuh Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim berpadu. Asma-Nya bukanlah makhluk-Nya, bukan sesuatu yang baru. Sebagaimana Dia yang Maha kekal maka Asma-Nya juga kekal. Asma-Nya adalah bagian dari-Nya tetapi tanpa terpisah dan terpecah. Juga bukan diri-Nya karena Dia lebih dari Asma-Nya.
Binatang yang mempunyai belalai, telinganya lebar, dan berbadan gemuk mempunyai nama gajah. Nama gajah adalah dari binatang tersebut tetapi bukan binatang itu sendiri. ketika kita menyebut gajah walaupun fisik gajah tidak ada di depan kita tetapi gambaran bentuk gajah muncul dibenak kita. Nama gajah mewakili bentuk gajah sehingga nama gajah bisa dianggap sebagai ‘wajah’ gajah. Oleh karena itu Al-Quran  diistilahkan/diibaratkan sebagai ‘wajah’ Allah. Alam semesta sebagai ‘wajah’ Allah.
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqarah : 115)
“Bismillahir Rahmanir Rahim” adalah perpaduan antara Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) memancar sebagai Al-Karim (Yang Maha Pemurah) bila dikaitkan dengan pemberian. Sedangkan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) memancar sebagai Al-Lathif (Yang Maha Lembut) bila dikaitkan dengan pengawasan dan pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan keperkasaan dan keindahan maka Ar-Rahman lebih merujuk kepada ‘kepriaan’ yang perkasa. Sedangkan Ar-Rahim merujuk kepada ‘kewanitaan’ yang lembut dan indah. Ar-Rahim lebih tersembunyi/batin daripada Ar-Rahman. Oleh karena itu Ar-Rahman lebih sering dikaitkan dengan karunia-Nya yang luas di alam dunia, baik kepada kaum muslim maupun non-muslim. Sedangkan Ar-Rahim dikaitkan dengan karunia khusus yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum mukmin berupa ilmu dan kenikmatan batin, baik di dunia maupun di akherat kelak. Islam mengajarkan untuk memulai segala sesuatu dengan bacaan basmallah, Bismillahir Rahmanir Rahim, agar Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim senantiasa mengiringi setiap langkah perbuatannya sehingga diharapkan menghasilkan sesuatu yang sempurna secara lahir maupun batin.
     “Alhamdulillahir Rabbil Alamin” mengandung arti bahwa karena Rahmat-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang menyebabkan seluruh ciptaan-Nya terpuji tanpa cacat. Semua ciptaan-Nya mengandung hikmah, sedangkan cacat kembali kepada lemahnya penglihatan manusia yang terbatas hanya pada segi lahiriah saja. Pujian apapun yang diberikan kepada makhluk ciptaan-Nya pada hakekatnya tertuju kepada Allah, Sang Penciptanya. Pandanglah segala sesuatu dengan dasar hikmah maka keburukan akan lenyap. Bersyukurlah atas apapun yang menimpamu maka kenikmatan  yang didapat.
     “Ar Rahman Ar Rahim” mengandung arti bahwa karunia-Nya bersifat menyeluruh, meliputi rahmat/rizki lahir maupun rahmat/rizki batin yang dipancarkan oleh Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Bahwa semua kenikmatan, baik berupa kenikmatan lahiriah maupun kenikmatan batiniah adalah karunia dan rahmat-Nya semata. Usaha manusia bukanlah penyebab utama timbulnya kenikmatan. Penyebab utama adalah rahmat-Nya sedangkan manusia dan usahanya hanyalah wadah bagi kesiapan menerima karunia-Nya. Apapun yang ditahan-Nya maka tidak ada satupun yang dapat mewujudkannya, dan apapaun yang diwujudkan-Nya maka tidak ada satupun yang dapat menahannya/menghalanginya.
     “Malikiy Yaumiddin” mengandung arti bahwa pada hari pengadilan kelak semuanya bergantung pada kemurahan Rahmat-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa diliputi ketakutan kecuali yang dipayungi ketenangan oleh Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa tertunduk lemah tak berdaya kecuali yang ditegakkan oleh Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa meraba-raba dalam kegelapan kecuali yang diberi penerangan oleh Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa merana sendirian kecuali yang berteman Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Pada hari itu tiada hujjah kecuali hujjah Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Islam mengajarkan kalimah ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah’ untuk menyadarkan kepada setiap kita bahwa pada hakekatnya diri kita adalah lemah tak berdaya. Semua kekuatan semata-mata anugerah dari Allah. Kapanpun Allah kehendaki, kekuatan bisa dicabut dari diri kita dan sakit menimpa, ketika itulah yang tersisa hanyalah kelemahan sebagai sifat asli manusia.
     “Iyya kana’buduw wa iyya kanasta’in”. Dengan Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim, manusia yang penuh kelemahan mampu beribadah kepada-Nya dengan benar dan menerima ilmu-Nya. Barangsiapa tidak bergantung pada rahmat-Nya ini maka ibadahnya tidak sampai kepada-Nya, ibadahnya berhenti pada harta, kedudukan, jabatan, popularitas, wanita dan hal-hal keduniawian lainnya. Dengan Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim pula setiap permintaan hambanya terpenuhi. Permintaan yang tidak beserta Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim tertolak atau boleh jadi terwujud tetapi diliputi kegelapan (kejahatan dan kemungkaran) karema Asma-Nya adalah cahaya, yang bila sesuatu terkena olehnya akan menjadi jelas, dari kegelapan menjadi terang benderang, dari ketiadaan menjadi terwujud keberadaannya. Segala sesuatu terwujud berkat Rahmat-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Oleh karena itu sudah selayaknya kita hanya bersandar dan bergantung kepada-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim.
     “Ihdinash Shirathal Mustaqim”. Beribu cara dan jalan untuk mencapai dan meraih sesuatu. Cara dan jalan ini menghasilkan ilmu alat. Di titik sumbernya cahaya ini cuma satu tetapi ketika terpancar keluar, tersebar menjadi banyak.
Jumlah ayat-ayat Al-Fatihah yang tujuh, bukanlah sesuatu tanpa makna tetapi merupakan petunjuk bahwa ada tujuh lapis pendakian/tingkatan untuk mencapai pusat kesadaran manusia. Al-Quran adalah ilmu, maka Al-Fatihah adalah pusatnya ilmu, mata-air ilmu. Semakin berilmu (tentu saja ilmu yang benar) seseorang maka semakin tinggi/peka kesadarannya. Yang merupakan petunjuk semakin dekat dengan pusat kesadaran jiwa.
     Untuk mencapai pusat kesadaran jiwa ini ada tujuh tingkatan yang harus dilalui. Ketika manusia bertindak, diawali dengan kehendak yang munculnya dari arah dalam, di relung jiwa sedangkan perintah Allah turun dari langit teratas (langit ketujuh) menuju ke bumi. Kedua hal ini menunjuk pada masalah yang sama, yaitu tindakan (amalan) dan kejadian. Dalam hubungannya dengan perintah Allah maka ayat-ayat Al-Fatihah berjalan dari atas ke bawah, dari ayat pertama menuju ayat ketujuh. Tetapi dalam hubungannya dengan perkembangan jiwa (tingkatan kesadaran) maka ayat-ayat Al-Fatihah berjalan dari bawah ke atas, dari ayat ketujuh menuju ayat pertama. Kesadaran berkembang dari kesadaran lahiriah menuju kesadaran batiniah.
     Tujuh ayat pada Surah Al-Fatihah merupakan representasi dari tujuh lapis langit. Jumlah langit yang tujuh dijelaskan dalam Surah Al Hijr ayat ke-15,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? “
(Qs. Al Hijr : 15)
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.(Qs. Fushshilat : 12)
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Qs. Al Mulk : 3)
Kalau kita perhatikan ayat diatas, ada bagian yang menarik perhatian yaitu pada frase bertingkat-tingkat. Apa yang dimaksud bertingkat-tingkat ini? Apakah antara langit yang satu dengan yang lain saling tumpang-tindih? Bila tumpang-tindih, dimanakah batas-batasnya? Sebenarnya hal seperti ini merupakan cara Allah berkomuniksi dengan manusia, menggunakan bahasa yang dimengerti manusia, menggunakan fenomena alam yang dapat diindra oleh panca-indra manusia. Menggunakan kejadian yang ada disekitar manusia. Makna ayat di atas, secara lahiriah memang seperti itu. Mengungkapkan bahwa langit ada tujuh lapis.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan; dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).” (Qs. Al Mu’minun : 17)
Ayat diatas sepintas lalu tidak ada hubungannya dengan dua ayat sebelumnya yang berbicara tentang langit. Tetapi ketika kita mau menengok sebuah hadits dari kitab shahih Bukhari yang membicarakan peristiwa isra’ mi’raj, maka kita menjadi paham bahwa ayat ke-17 Surah Al-Mu’minun di atas merupakan pembuka tabir makna rahasia perkataan langit pada dua ayat sebelumnya. Andai tidak ada hadits tentang isra’ mi’raj tersebut niscaya kita tidak akan paham makna batin dari langit. Dengan saling membandingkan antara dua ayat sebelumnya tentang langit, ayat dari Surah Al-Mu’minun di atas dan hadits shahih tentang isra’ mi’raj maka makna batin dari tujuh langit adalah; bahwa tingkatan ruhaniah ada tujuh lapis, bahwa perkembangan/pendakian jiwa hingga ke pusat ruhaniah ada tujuh tahapan, bahwa ada tujuh lapis alam kesadaran/alam halus. Alam ruhaniah diibaratkan sebagai langit karena seperti langit yang ‘memberi’ hujan kepada bumi, ‘menghidupkan’ bumi sehingga subur untuk ditanami bermacam-macam tanaman. Begitu juga alam ruhaniah ‘memberi’ ilham kepada hati dan pikiran dengan kekayaan ide sehingga banyak melahirkan karya-karya mutakhir. Keberadaan lapisan alam halus sebagai makna batin ayat di atas tersembunyi bagi orang-orang yang menganggap remeh hadits dan tidak mau mengkajinya. Padahal hadits penuh dengan ilmu rahasia yang dititipkan Allah kepada kekasih-Nya, Rasulullah saw.
Di dalam hadits, jumlah langit yang tujuh disebutkan dalam hadits shahih Bukhari-Muslim dari sahabat Anas r.a :
Telah bercerita kepada kami [Hudbah bin Khalid] telah bercerita kepada kami [Hammam] dari [Qatadah]. Dan diriwayatkan pula, [Khalifah] berkata kepadaku, telah bercerita kepada kami [Yazid bin Zurai'] telah bercerita kepada kami [Sa'id] dan [Hisyam] keduanya berkata telah bercerita kepada kami [Qatadah] telah bercerita kepada kami [Anas bin Malik] dari [Malik bin Sha'sha'ah radliallahu 'anhuma] berkata, Nabi saw bersabda: "Ketika aku berada di sisi Baitullah antara tidur dan sadar". Lalu Beliau menyebutkan, yaitu: "Ada seorang laki-laki diantara dua laki-laki yang datang kepadaku membawa baskom terbuat dari emas yang dipenuhi dengan hikmah dan dan iman lalu orang itu membelah badanku dari atas dada hingga bawah perut, lalu dia mencuci perutku dengan air zamzam kemudian mengisinya dengan hikmah dan iman. Kemudian aku diberi seekor hewan tunggangan putih yang lebih kecil dari pada baghal namun lebih besar dibanding keledai bernama al-Buraq. Maka aku berangkat bersama Jibril ‘alaihissalam, hingga sampai di langit dunia. Lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang telah tiba". Kemudian aku menemui Adam ‘alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "(Ucapan) selamat datang bagimu dari anak keturunan dan nabi". Kemudian kami naik ke langait kedua lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui 'Isa dan Yahya ‘alaihissalam lalu keduanya berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit ketiga lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui Yusuf ‘alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit keempat lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui Idris ‘Alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit kelima lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui Harun ‘alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit keenam lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Kemudian aku menemui Musa 'alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Ketika aku sudah selesai, tiba-tiba dia menangis. Lalu ditanyakan; "Mengapa kamu menangis?". Musa menjawab; "Ya Rabb, anak ini yang diutus setelah aku, ummatnya akan masuk surga dengan kedudukan lebih utama dibanding siapa yang masuk surga dari ummatku". Kemudian kami naik ke langit ketujuh lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Kemudian aku menemui Ibrahim 'alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian aku ditampakkan al-Baitul Ma'mur. Aku bertanya kepada Jibril, lalu dia menjawab; "Ini adalah al-Baitul Ma’mur, setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat mendirikan sholat disana. Jika mereka keluar (untuk pergi shalat) tidak ada satupun dari mereka yang kembali". Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha yang ternyata bentuknya seperti kubah dengan daun jendelanya laksana telinga-telinga gajah. Di dasarnya ada empat sungai yang berada di dalam (disebut Bathinan) dan di luar (Zhahiran)". Aku bertanya kepada Jibril, maka dia menjawab; "Adapun Bathinan berada di surga sedangkan Zhahiran adalah an-Nail dan al-Furat (dua nama sungai di surga)". Kemudian diwajibkan atasku shalat lima puluh kali. Aku menerimana hingga datang Musa 'alaihissalam menemuiku dan bertanya; "Apa yang telah kamu lakukan?". Aku jawab: "Aku diwajibkan shalat lima puluh kali". Musa berkata; "Akulah orang yang lebih tahu tentang manusia daripada kamu. Aku sudah berusaha menangani Bani Isra'il dengan sungguh-sungguh. Dan ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan kewajiban shalat itu. Maka itu kembalilah kamu kepada Rabbmu dan mintalah (keringanan)". Maka aku meminta keringanan lalu Allah memberiku empat puluh kali shalat, lalu (aku menerimanya dan Musa kembali menasehati aku agar meminta keringanan lagi), kemudian kejadian berulang seperti itu (nasehat Musa) hingga dijadikan tiga puluh kali lalu kejadian berulang seperti itu lagi hingga dijadikan dua puluh kali kemudian kejadian berulang lagi hingga menjadi sepuluh lalu aku menemui Musa dan dia kembali berkata seperti tadi hingga dijadikan lima waktu lalu kembali aku menemui Musa dan dia bertanya; "Apa yang kamu dapatkan?". Aku jawab; "Telah ditetapkan lima waktu". Dia berkata seperti tadi lagi. Aku katakan; "Aku telah menerimanya dengan baik". Tiba-tiba ada suara yang berseru: "Sungguh AKu telah putuskan kewajiban dariku ini dan Aku telah ringankan buat hamba-hamba-Ku dan aku akan balas setiap satu kebaikan dengan sepuluh balasan (pahala)". Dan berkata [Hammam] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] dari Nabi saw: "Tentang al-Baitul Ma'mur". (HR. Bukhari : 2968)
Kedudukan hadits dalam hukum islam sangat penting. Hadits menduduki tempat kedua setelah Al-Quran sebagai sumber hukum. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT dengan bahasa manusia agar mudah disampaikan (dikomunikasikan). Tetapi ‘bahasa’ Allah bukanlah bahasa manusia. Bahasa manusia hanya bentuk kompromi dari ‘bahasa’ Allah. Oleh karena itu Al-Quran tidak sekedar apa yang tersurat tetapi juga yang tersirat dalam beberapa lapis makna batin. Makna batin Al-Quran ini sebagai pemahaman yang benar, diilhamkan kepada Rasulullah saw dan diwariskan kepada umatnya melalui perkataan dan perbuatan beliau saw, secara estafet, turun-temurun dari para sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah saw, kepada tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga generasi sekarang ini dalam bentuk hadits. Banyak dari generasi sekarang yang meremehkan peranan hadits ini. Memang banyak juga hadits yang dloif. Tetapi hal seperti ini tidak dapat menghapus kedudukan hadits sebagai sumber hukum yang benar dan sah. Hadits shahih dan hasan masih banyak dan seharusnya menjadi pelengkap dan penyempurna pemahaman Al-Quran.
     Orang yang hanya menafsirkan Al-Quran berdasarkan akal pikirannya sendiri dengan mengesampingkan hadits atau tanpa pernah menempuh jalan riyadhoh (disiplin sufi dibawah bimbingan guru sufi) untuk menyambungkan ilmunya kepada ilmu para pendahulu dan Rasul maka dia telah menafsirkan Al-Quran dengan prasangkanya dan makna lahiriah semata. Orang-orang seperti ini diibaratkan seperti orang buta yang memegang belalai gajah dan berteriak dengan penuh semangat kepada orang banyak bahwa ia telah paham apa yang disebut gajah.
     Ilmu murni itu seperti halnya pusat pembangkit listrik yang mana setiap rumah memerlukan jaringan kabel terdekat untuk bisa tersambung dengannya dan menikmati penerangannya yang sempurna, tidak bisa masing-masing rumah menyambung langsung kepadanya. Ilmu Allah diturunkan kepada Rasulullah saw, kemudian diwariskan kepada para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga generasi sekarang melalui jalur pewarisan bukan mengambil sendiri dengan akalnya. Diwariskan dan diamanatkan melalui tradisi keilmuan dan pengorbanan di jalan riyadhoh. Banyak orang-orang dari generasi sekarang yang merasa bisa mengambil ilmu murni tersebut langsung dari Allah SWT bukan melalui tradisi keilmuan (dan pengorbanan di jalan riyadhoh) yang pintu gerbang terakhirnya adalah Rasulullah saw. Orang-orang seperti ini tanpa sadar telah tertipu oleh prasangkanya sendiri. kebatilan yang di’nikmati sendiri masih bisa ditolerir. Tetapi bila kebatilan sudah disebarluaskan kepada orang banyak, kerusakan yang ditimbulkannya bisa merusak peradaban. Hal ini seperti orang yang menggali tanah untuk mendapatkan minyak tetapi melakukannya dengan cara yang salah, dengan nafsu berlebihan dan melampaui batas. Yang keluar bukannya minyak tetapi gas berbahaya dan lumpur panas yang menimbulkan kerusakan lingkungan sekitarnya.
     Berjalannya perintah/kehendak Allah sebagai alur normal dari ayat pertama hingga ayat ketujuh surah Al-Fatihah, lebih mirip dengan kejadian lahirnya seorang bayi. Tindakan dan amal perbuatan sebagai hasil akhir proses lahirnya/turunnya kehendak Allah. Sedangkan bayi merupakan proses akhir lahirnya manusia baru sebagai hasil pembuahan sel sperma terhadap sel telur.
Hadist riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap diri kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. (HR. Muslim : 4781)
Dalam hadits-hadits tentang penciptaan manusia di dalam rahim ibu terdapat perbedaan tentang saat peniupan ruh. Ada yang menyebut sebelum penetapan empat hal dan ada juga yang menyebut sesudahnya. Kami lebih condong untuk menyebut waktu peniupan ruh adalah sebelum penetapan dan setelah pembentukan segumpal daging berdasar ayat di bawah ini,
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (Qs. Az Zumar : 6)
Tiga kegelapan tersebut adalah tahap nuthfah, segumpal darah, dan segumpal daging. Karena kegelapan ibarat dari belum adanya kehidupan. Ketika ruh ditiupkan maka baru bisa disebut hidup. Ruh seperti sesuatu yang dijelaskan oleh Allah kepada bakal bayi, baru setelah itu diberi ketetapan, seperti yang disebut oleh ayat di bawah ini,
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al Hajj : 5)
Dalam hubungannya dengan proses kelahiran bayi, Asma-Nya Ar-Rahman (diibaratkan) berperan sebagai sel sperma sedangkan Asma-Nya Ar-Rahim (diibaratkan) berperan sebagai sel telur. “Bismillahir Rahmanir Rahim” diibaratkan sebagai tahap pembuahan/pertemuan sel sperma dengan sel telur. “Alhamdulillahir Rabbil Alamin” sebagai proses terbentuknya nutfah atau saripati manusia. Setiap ciptaan-Nya mengandung hikmah. Hikmah merupakan saripati dalam setiap makhluk-Nya sehingga melahirkan pujian. “Ar Rahman Ar Rahim” sebagai proses terbentuknya segumpal darah. Darah mengandung oksigen dan zat-zat makanan yang berguna bagi kehidupan. Oksigen dan zat makanan ini ibarat dari limpahan sifat kasih-sayang  Allah lewat Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. “Malikiy Yaumiddin” sebagai proses terbentuknya segumpal daging. Segumpal daging ini adalah hati (qalbu/hati halus). Bila hati baik maka baiklah amal perbuatannya. Bila hati buruk maka buruklah amal perbuatannya. Hati pula yang akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatan anggota badannya kelak dihari pengadilan. “Iyya kana’buduw wa iyya kanasta’in” sebagai proses peniupan ruh sebagai esensi manusia. Ibadah dan memohon pertolongan adalah sifat asli ruh. “Ihdinash Shirathal Mustaqim” sebagai proses penetapan takdir. “Shirathalladzina an’am ..” sebagai proses penyempurnaan bentuk dan organ bayi sebagai manusia baru, mewarisi bentuk nabi Adam as, dimana setiap orang memiliki 360 urat yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, urat yang mendorong untuk berbuat kebajikan dan kelompok kedua, urat yang mendorong untuk berbuat kejahatan. Bila menginginkan kebaikan maka biasakanlah untuk mencontoh jalan kebajikan orang-orang terdahulu dan berkumpul hanya dengan orang-orang baik sehingga menguatkan kelompok urat kebaikan dan melemahkan urat keburukan.
     Berdasar Al-Fatihah juga kita mengetahui bahwa ada tujuh tahapan perkembangan dan pendakian jiwa menuju kesadaran yang paling dalam. Hadits mengenai isra’ mi’raj yang telah disebutkan sebelumnya memperjelas permasalahan ini. Ada tujuh nabi yang menduduki tingkatan langit yang berbeda, mulai dari langit pertama (langit dunia) yang dihuni oleh Nabiyullah Adam as hingga langit ketujuh yang dihuni oleh Nabiyullah Ibrahim as. Kedudukan tujuh nabi pada lapisan alam halus yang berbeda ini sekaligus menunjukkan bahwa ada tujuh tingkatan ruhani yang dalam kazanah tasawuf disebut sebagai maqom. Bahkan maqom Rasulullah saw lebih tinggi dari langit ketujuh. Maqom Al Mahmud, maqom yang tidak ada satupun makhluk yang dapat mencapainya kecuali Rasulullah saw.
     Pusat kesadaran atau pusat jiwa manusia, kalangan sufi menyebutnya sebagai sirr (rahasia) adalah tempat keberadaan Cahaya Allah. Sirr ini dilingkupi/dibungkus oleh alam ruh. Alam ruh dibungkus oleh alam qalbu (hati halus). Qalbu dibungkus oleh jiwa (An Nafs). Qalbu menjadi batas antara alam ruh dan alam jiwa. Alam ruh adalah alam ma’rifat pada ayat pertama hingga ke-empat Surah Al-Fatihah. Alam jiwa terluar, yang berhubungan langsung dengan jasmani, adalah alam hukum syar’i pada ayat ke-enam dan ketujuh Surah Al-Fatihah. Sedangkan qalbu pada ayat ke-lima Surah Al-Fatihah, merupakan alam pertengahan, menjadi tempat esensi kemanusiaan. Tempat yang dituju oleh jiwa ketika berkembang dari jiwa lawwamah di ayat ke-tujuh menjadi jiwa mulhimmah di ayat ke-enam dan jiwa muthmainnah di ayat ke-lima. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang sudah berhasil mencapai kehidupan hati. Hati yang hidup dengan cahaya Allah. Amalan jiwa muthmainnah adalah amalan yang keluar dari hati, yang bersama hati, yang menyentuh hati tidak sekedar lahiriah belaka. Agama islam adalah agama fitrah karena sesuai dengan keinginan hati, mendambakan kesucian dan segala sesuatu yang abadi. Ketika qalbu diciptakan dan dibawa kehadapan Allah SWT lalu ditanya; “Siapakah Aku?” Maka qalbu menjawab, “Engkau adalah Rabbku”. Sifat asli/fitrah qalbu adalah ketaatan dan kepatuhan. Tetapi ketika hawa nafsu dicipta dan ditanya; “Siapakah Aku?” Maka hawa nafsu menjawab, “Engkau adalah engkau, dan aku adalah aku”. Sifat hawa nafsu adalah membangkang, ingkar, angkuh dan tinggi hati. Hawa nafsu inilah yang disebut sebagai nafsu/jiwa Amaroh. Tempat/jalan bagi syetan untuk mempengaruhi dan mencemari kesucian hati. Agama islam disebut juga sebagai agama pertengahan karena mengatur hati yang posisinya dipertengahan alam ruh dan alam jiwa. Maqom ruh adalah maqom yang sangat tinggi, dicapai oleh empat sahabat. Islam tidak memerintahkan (perintah bila tidak dilakukan berarti berdosa) untuk menjadi siddiq karena sulit dan sangat tinggi. Dapatkah setiap orang islam diharuskan seperti sayyidina Abu Bakar yang melepaskan/mensedekahkan seluruh hartanya demi perjuangan rasulullah saw dan tidak menyisakan sepersenpun untuk diri dan keluarganya ? Tetapi yang diperintahkan islam adalah menghidupkan hati dengan Cahaya Ilahi. Maka sholat yang sebenarnya adalah sholat dengan hati, tidak sekedar gerak badan. Sholat adalah posisi pertengahan. Menghentikan/menstop kehidupan duniawi (diwakili oleh pikiran. Bila pikiran masih terbang seperti burung kesana-kemari maka masih berada di dunia belum masuk/mi’raj ke alam ruhani/akherat). Menghentikan pikiran ini terjadi ketika mengucapkan takbiratul ikram “Allahu Akbar”. Inilah yang dimaksud sholat wustho, sholat di pertengahan, sholat dengan hati, beranjak dan meninggalkan kehidupan lahiriah menuju kehidupan ruhani bersama hati yang posisinya dipertengahan antara alam ruh dan alam jiwa. Yang dikatakan seimbang yang sebenarnya adalah kehidupan hati. Kesadaran jiwa yang mencapai hati. Tidak harus di alam ruh yang terlalu tinggi dan juga tidak di alam jiwa (menghadap alam duniawi melalui panca-indra yang dikendalikan akal pikiran) yang mudah goyah. Semua amalan bersama hati, muncul karena dorongan hati yang secara fitrah menginginkan kesucian dan kebahagiaan ruhani yang abadi bukan karena dorongan nafsu hewani maupun nafsu amaroh yang hanya menginginkan pemuasan jasmani. Maka hasanah/kebaikan yang disebut dalam do’a sapu jagat “Robbana ‘atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah..” bukan berarti harus memiliki harta yang melimpah disertai ibadah. Tetapi maksudnya di dunia badan dapat beramal baik dan berbuat taat (tidak terjerumus dalam maksiat) dengan mudah, di akhirat hati damai dengan janji surga dan ma’rifat. Harta benda memang diperlukan untuk menunjang ibadah dan syi’ar agama tetapi bukan untuk pemuasan syahwat badaniah. Andai harta benda duniawi berharga disisi Allah dan sebagai ukuran kebahagiaan maka mustahil bagi Allah menyebutnya sebagai fitnah,
"Ketahuilah olehmu semua, bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau, perhiasan dan bermegah-megah antara sesamamu, berlomba banyak harta dan anak. Perumpamaannya adalah seperti hujan yang membuat takjub orang-orang kafir (yang menjadi petani) melihat tumbuh tanamannya, kemudian menjadi kering lalu engkau lihat menjadi kuning warnanya, kemudian menjadi hancur binasa. Dan di akhirat siksa yang amat sangat untuk mereka itu (yang berbuat kesalahan), juga pengampunan dari Allah serta keridhaan (bagi orang-orang yang berbuat kebaikan) dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah kesenangan yang menipu (fitnah)." (Qs. Al Hadid : 20)
Dan Rasulullah saw menyebutnya seperti bangkai yang tidak ada harganya,
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab] telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Bilal] dari [Ja'far] dari [ayahnya] dari [Jabir bin Abdullah], Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melintas masuk ke pasar seusai pergi dari tempat-tempat tinggi sementara orang-orang berada disisi beliau. Beliau melintasi bangkai anak kambing dengan telinga melekat, beliau mengangkat telinganya lalu bersabda: "Siapa diantara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?" mereka menjawab: Kami tidak mau memilikinya, untuk apa? Beliau bersabda: "Apa kalian mau (bangkai) ini milik kalian?" mereka menjawab: Demi Allah, andai masih hidup pun ada cacatnya karena telinganya menempel, lalu bagaimana halnya dalam keadaan sudah mati? Beliau bersabda: "Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi (bangkai) ini bagi kalian." Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Al Mutsanna Al Anazi] dan [Ibrahim bin Muhammad bin Ararah As Sami] keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami [Abdulwahhab Ats Tsaqafi] dari [Ja'far] dari [ayahnya] dari [Jabir] dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam sepertinya hanya saja dalam hadits Ats Tsaqafi disebutkan: Bila pun hidup, telinga yang menempel ini aib. (HR. Muslim : No.5257)
     Ada tiga warna dasar dalam kehidupan manusia, yaitu merah, hijau, dan biru. Perpaduan ketiga warna tersebut akan menghasilkan warna baru yang beraneka macam. Kenyataan ini sama halnya dengan Surah Al-Fatihah yang menghasilkan ribuan ayat yang lain. Ketiga warna dasar tersebut merupakan warna Al-Fatihah. Setiap perbuatan manusia dimulai oleh adanya motivasi. Motivasi ini memberi semangat kepada hati. Hati yang hidup oleh semangat, mampu menggerakkan anggota badan untuk memenuhi keinginan hati. Ayat ke-enam dan ke-tujuh Surah Al-Fatihah mempunyai nuansa merah. Warna merah merupakan warna semangat. Motivasi muncul karena adanya pengetahuan, adanya jalan atau cara untuk menggapai apa yang diinginkan. Di alam dunia ini banyak sekali jalan atau cara untuk mencapai tujuan tetapi hanya jalan syari’at, yang berlandaskan aturan-Nya, saja yang dapat mencapai/memperoleh tidak hanya kesenangan di dunia tetapi juga kebahagian di akherat.
     Setelah menempuh jalan yang sesuai dengan aturan-Nya maka manusia menemukan jati dirinya, yaitu hamba yang lemah dan senantiasa memerlukan/bersandar pada pertolongan-Nya. Keinsyafan tentang diri yang lemah dan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT, yang dapat mewujudkan apapun yang dikehendaki-Nya, menimbulkan kedamaian dan kelembutan hati. Kedamaian dan kelembutan hati memancarkan warna hijau seperti yang dipancarkan oleh ayat ke-lima Surah Al-Fatihah.
     Bila penghambaan yang penuh kedamaian dan kelembutan hati ini terus menerus dipelihara/istiqomah maka akan memancar air jernih ilmu ma’rifat yang luas bagai lautan biru. Yang jauh di kedalamannya terdapat mutiara yang tak ternilai harganya, putih cemerlang. Mutiara ini hanya dapat dijangkau dengan perpaduan semangat merah, kedamaian hati yang hijau, dan kepekaan ma’rifat yang biru. Pengorbanan jiwa dan raga mengarungi gelombang badai kehidupan (lautan) dengan kesabaran dan kerendahan hati mendapatkan imbalan yang setimpal, mutiara jiwa, jauhar kehidupan yang menuntunnya menuju kebahagiaan di dua alam, dunia dan akherat, kedua-duanya.


Halaman berikutnya :
Qadha dan Qadar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

islam,mahkota islam,moslem,muslim,solusi,solution,sains,technology,teknologi,quran,nusantara