Halaman sebelumnya :
“Iyyakana’budu” sebagai pintu yang
menghadap ke atas mempunyai arti bahwa ilmu ma’rifat yang benar hanya bisa
dicapai dengan penghambaan yang benar. Seperti halnya hamba sahaya yang baik,
dimana segala kehendaknya tergantung tuannya. Bila sihamba masih bertindak
berdasar kehendaknya sendiri yang bukan atas kehendak tuannya maka ia belum
bisa disebut hamba yang baik. Hamba yang benar adalah seorang faqir yang tidak
menyisakan bagi tindakannya kehendak pribadi. Seorang faqir yang benar selalu
merasa lemah dan butuh terhadap-Nya. Untuk alasan inilah Rasulullah saw
dikondisikan oleh-Nya sebagai hamba yang ummi agar dalam perkembangan jiwanya
tidak ada dominasi akal yang rentan keakuan oleh sebab pengetahuan yang
diusahakannya. Pengetahuan yang diterima Rasulullah saw adalah ilham.
Pengetahuan ilham yang bukan hasil usaha pemikiran sendiri tidak menimbulkan
keakuan. Tauhidullah tidak menerima keakuan. Ilham diawali pertanyaan di dalam
perenungan/tafakur. Bukti bahwa pengetahuan yang Beliau peroleh merupakan
bentuk ilham adalah kenyataan bahwa setiap kali disodori oleh pertanyaan baru
oleh para sahabat maupun pendeta nasrani, beliau lebih dulu diam, bertanya
kepada hati ruhaninya yang hidup penuh cahaya-Nya. Tetapi apa yang kami uraiakan bukan
berarti menganjurkan
untuk mematikan akal pikiran, hal seperti ini sama saja menyebarkan kebodohan. Yang dikehendaki Al-Fatihah adalah jangan
men-Tuhan-kan akal pikiran. Setiap permasalahan ada petunjuknya di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Bila tidak ditemukan petunjuk di dalam keduanya bukan
berarti tidak ada tetapi petunjuk tersebut samar (ada dalam makna batinnya), disinilah
tugas akal pikiran dan kejernihan hati bersama mengkaji/menganalisa Al-Quran
dan As-Sunnah yang berhubungan dengan permasalahan tersebut, sebagaimana dzikir yang berhasil adalah dizikir yang
memadukan hati dan pikiran yang menghasilkan tafakkur. Dua
ayat terakhir Surah Al-Fatihah meniscayakan penggunaan akal pikiran (pemikiran
logis) untuk permasalahan muamalah horisontal (misal hubungan dagang dan
pemerintahan) dengan pondasi/landasan dasar ilmu syari’at (shirathal mustaqim).
Ayat pertama sampai keempat merupakan ruang penggunaan hati. Akal tidak akan
sanggup mengarungi ilmu ma’rifat. Andai bisa, hanya sebatas kulit karena akal
berhasil mengenal/memahami sesuatu setelah terbentuk visualisasi (gambaran)
dimemori otak. Sedang kedalaman yang merupakan ‘rasa’ dari ilmu tersebut tidak
ada ‘getaran’/’sentuhan’ di hati. Hanya hati yang jernih yang mampu menyentuh
kedalaman ilmu ma’rifat.
“Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan.” (Qs. Al-Waaqi’ah : 79)
‘Menyentuh’
pada ayat di atas mempunyai arti menyentuh dengan hati/mengetahui makna
rahasia/batin Al-Quran yang merupakan bagian dari ilmu ma’rifat. Ketika
Nabiyullah Ibrahim as. dihadapkan pada suatu permasalahan besar yaitu perintah
menyembelih Nabuyullah Ismail as. maka beliau mengesampingkan pikiran normalnya
dan mengedepankan kepekaan perasaannya yang penuh keyakinan dan cinta kepada
Allah Rabbul Alamin. Maka Nabiyullah Ibrahim membuktikan cintanya kepada Allah
dan Allah SWT menganugerahinya gelar Khalilullah (kekasih Allah). Kedekatan,
keyakinan, dan ma’rifat menyelimuti segenap jiwa Nabiyullah Ibrahim as.
Pengalaman dan kejadian yang dialami sendiri seperti yang terjadi pada
Nabiyullah Ibrahim tersebut membentuk pengetahuan ma’rifat yang menghunjam kuat
di dalam hati. Kepercayaan yang tidak sekedar percaya tetapi kepercayaan yang
kukuh berupa keyakinan, yang tidak mudah goyah oleh guncangan. Karena alasan
seperti inilah Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur. Sebagian besar ayat
turun menerangkan suatu peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah saw
mengemban Risalah. Sehingga ayat-ayat Al-Quran dipahami oleh para sahabat pada
tingkatan yakin karena terjadi dan dialami sendiri.
“Iyyakanasta’in” sebagai pintu yang menghadap ke bawah
mempunyai arti bahwa ada banyak cara dan jalan untuk mencapai dan meraih
sesuatu tetapi hanya cara dan jalan yang lurus saja yang memberikan keselamatan.
Cara dan jalan lurus inilah yang seharusnya senantiasa dimohonkan kepada Allah
SWT sedangkan semua keduniawian sebagai alat dan sarana pendukung jalan
keselamatan tersebut otomatis ikut juga. Dan semua permohonan seharusnya
disampaikan kepada Allah bukan kepada selain-Nya.
Di langit ketujuh Asma-Nya Ar-Rahman dan
Ar-Rahim berpadu. Asma-Nya bukanlah makhluk-Nya, bukan sesuatu yang baru.
Sebagaimana Dia yang Maha kekal maka Asma-Nya juga kekal. Asma-Nya adalah
bagian dari-Nya tetapi tanpa terpisah dan terpecah. Juga bukan diri-Nya karena
Dia lebih dari Asma-Nya.
Binatang yang mempunyai
belalai, telinganya lebar, dan berbadan gemuk mempunyai nama gajah. Nama gajah adalah
dari binatang tersebut tetapi bukan binatang itu sendiri. ketika kita menyebut
gajah walaupun fisik gajah tidak ada di depan kita tetapi gambaran bentuk gajah
muncul dibenak kita. Nama gajah mewakili bentuk gajah sehingga nama gajah bisa
dianggap sebagai ‘wajah’ gajah. Oleh karena itu Al-Quran diistilahkan/diibaratkan sebagai ‘wajah’
Allah. Alam semesta sebagai ‘wajah’ Allah.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”
(Qs. Al Baqarah : 115)
“Bismillahir
Rahmanir Rahim” adalah perpaduan antara Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) memancar sebagai Al-Karim (Yang Maha Pemurah)
bila dikaitkan dengan pemberian. Sedangkan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang)
memancar sebagai Al-Lathif (Yang Maha Lembut) bila dikaitkan dengan pengawasan
dan pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan keperkasaan dan keindahan maka
Ar-Rahman lebih merujuk kepada ‘kepriaan’ yang perkasa. Sedangkan Ar-Rahim
merujuk kepada ‘kewanitaan’ yang lembut dan indah. Ar-Rahim lebih
tersembunyi/batin daripada Ar-Rahman. Oleh karena itu Ar-Rahman lebih sering
dikaitkan dengan karunia-Nya yang luas di alam dunia, baik kepada kaum muslim
maupun non-muslim. Sedangkan Ar-Rahim dikaitkan dengan karunia khusus yang
diberikan oleh Allah SWT kepada kaum mukmin berupa ilmu dan kenikmatan batin,
baik di dunia maupun di akherat kelak. Islam mengajarkan untuk memulai segala
sesuatu dengan bacaan basmallah, Bismillahir Rahmanir Rahim, agar Asma-Nya
Ar-Rahman dan Ar-Rahim senantiasa mengiringi setiap langkah perbuatannya
sehingga diharapkan menghasilkan sesuatu yang sempurna secara lahir maupun
batin.
“Alhamdulillahir Rabbil Alamin” mengandung
arti bahwa karena Rahmat-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang
menyebabkan seluruh ciptaan-Nya terpuji tanpa cacat. Semua ciptaan-Nya
mengandung hikmah, sedangkan cacat kembali kepada lemahnya penglihatan manusia
yang terbatas hanya pada segi lahiriah saja. Pujian apapun yang diberikan
kepada makhluk ciptaan-Nya pada hakekatnya tertuju kepada Allah, Sang
Penciptanya. Pandanglah segala sesuatu dengan dasar hikmah maka keburukan akan
lenyap. Bersyukurlah atas apapun yang menimpamu maka kenikmatan yang didapat.
“Ar Rahman Ar Rahim” mengandung arti bahwa
karunia-Nya bersifat menyeluruh, meliputi rahmat/rizki lahir maupun
rahmat/rizki batin yang dipancarkan oleh Asma-Nya Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Bahwa
semua kenikmatan, baik berupa kenikmatan lahiriah maupun kenikmatan batiniah
adalah karunia dan rahmat-Nya semata. Usaha manusia bukanlah penyebab utama timbulnya
kenikmatan. Penyebab utama adalah rahmat-Nya sedangkan manusia dan usahanya
hanyalah wadah bagi kesiapan menerima karunia-Nya. Apapun yang ditahan-Nya maka
tidak ada satupun yang dapat mewujudkannya, dan apapaun yang diwujudkan-Nya
maka tidak ada satupun yang dapat menahannya/menghalanginya.
“Malikiy Yaumiddin” mengandung arti bahwa
pada hari pengadilan kelak semuanya bergantung pada kemurahan Rahmat-Nya
melalui Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa diliputi ketakutan kecuali
yang dipayungi ketenangan oleh Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa
tertunduk lemah tak berdaya kecuali yang ditegakkan oleh Asma-Nya Ar-Rahman
Ar-Rahim. Setiap jiwa meraba-raba dalam kegelapan kecuali yang diberi
penerangan oleh Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Setiap jiwa merana sendirian
kecuali yang berteman Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Pada hari itu tiada hujjah
kecuali hujjah Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Islam mengajarkan kalimah ‘Laa
haula wa laa quwwata illa billah’ untuk menyadarkan kepada setiap kita bahwa
pada hakekatnya diri kita adalah lemah tak berdaya. Semua kekuatan semata-mata
anugerah dari Allah. Kapanpun Allah kehendaki, kekuatan bisa dicabut dari diri
kita dan sakit menimpa, ketika itulah yang tersisa hanyalah kelemahan sebagai
sifat asli manusia.
“Iyya kana’buduw wa iyya kanasta’in”.
Dengan Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim, manusia yang penuh kelemahan mampu
beribadah kepada-Nya dengan benar dan menerima ilmu-Nya. Barangsiapa tidak
bergantung pada rahmat-Nya ini maka ibadahnya tidak sampai kepada-Nya,
ibadahnya berhenti pada harta, kedudukan, jabatan, popularitas, wanita dan
hal-hal keduniawian lainnya. Dengan Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim pula setiap
permintaan hambanya terpenuhi. Permintaan yang tidak beserta Asma-Nya Ar-Rahman
Ar-Rahim tertolak atau boleh jadi terwujud tetapi diliputi kegelapan (kejahatan
dan kemungkaran) karema Asma-Nya adalah cahaya, yang bila sesuatu terkena
olehnya akan menjadi jelas, dari kegelapan menjadi terang benderang, dari
ketiadaan menjadi terwujud keberadaannya. Segala sesuatu terwujud berkat
Rahmat-Nya melalui Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. Oleh karena itu sudah
selayaknya kita hanya bersandar dan bergantung kepada-Nya melalui Asma-Nya
Ar-Rahman Ar-Rahim.
“Ihdinash Shirathal Mustaqim”. Beribu cara
dan jalan untuk mencapai dan meraih sesuatu. Cara dan jalan ini menghasilkan
ilmu alat. Di titik sumbernya cahaya ini cuma satu tetapi ketika terpancar
keluar, tersebar menjadi banyak.
Jumlah ayat-ayat Al-Fatihah yang tujuh, bukanlah
sesuatu tanpa makna tetapi merupakan petunjuk bahwa ada tujuh lapis
pendakian/tingkatan untuk mencapai pusat kesadaran manusia. Al-Quran adalah
ilmu, maka Al-Fatihah adalah pusatnya ilmu, mata-air ilmu. Semakin berilmu
(tentu saja ilmu yang benar) seseorang maka semakin tinggi/peka kesadarannya.
Yang merupakan petunjuk semakin dekat dengan pusat kesadaran jiwa.
Untuk mencapai pusat kesadaran jiwa ini ada
tujuh tingkatan yang harus dilalui. Ketika manusia bertindak, diawali dengan
kehendak yang munculnya dari arah dalam, di relung jiwa sedangkan perintah
Allah turun dari langit teratas (langit ketujuh) menuju ke bumi. Kedua hal ini
menunjuk pada masalah yang sama, yaitu tindakan (amalan) dan kejadian. Dalam
hubungannya dengan perintah Allah maka ayat-ayat Al-Fatihah berjalan dari atas
ke bawah, dari ayat pertama menuju ayat ketujuh. Tetapi dalam hubungannya
dengan perkembangan jiwa (tingkatan kesadaran) maka ayat-ayat Al-Fatihah
berjalan dari bawah ke atas, dari ayat ketujuh menuju ayat pertama. Kesadaran
berkembang dari kesadaran lahiriah menuju kesadaran batiniah.
Tujuh ayat pada Surah Al-Fatihah merupakan
representasi dari tujuh lapis langit. Jumlah langit yang tujuh dijelaskan dalam
Surah Al Hijr ayat ke-15,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? “
(Qs. Al
Hijr : 15)
“Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit
urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang
cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Fushshilat : 12)
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Qs.
Al Mulk : 3)
Kalau kita
perhatikan ayat diatas, ada bagian yang menarik perhatian yaitu pada frase
bertingkat-tingkat. Apa yang dimaksud bertingkat-tingkat ini? Apakah antara
langit yang satu dengan yang lain saling tumpang-tindih? Bila tumpang-tindih,
dimanakah batas-batasnya? Sebenarnya hal seperti ini merupakan cara Allah
berkomuniksi dengan manusia, menggunakan bahasa yang dimengerti manusia, menggunakan
fenomena alam yang dapat diindra oleh panca-indra manusia. Menggunakan kejadian
yang ada disekitar manusia. Makna ayat di atas, secara lahiriah memang seperti
itu. Mengungkapkan bahwa langit ada tujuh lapis.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan; dan
Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).” (Qs. Al Mu’minun : 17)
Ayat diatas
sepintas lalu tidak ada hubungannya dengan dua ayat sebelumnya yang berbicara
tentang langit. Tetapi ketika kita mau menengok sebuah hadits dari kitab shahih
Bukhari yang membicarakan peristiwa isra’ mi’raj, maka kita menjadi paham bahwa
ayat ke-17 Surah Al-Mu’minun di atas merupakan pembuka tabir makna rahasia
perkataan langit pada dua ayat sebelumnya. Andai tidak ada hadits tentang isra’
mi’raj tersebut niscaya kita tidak akan paham makna batin dari langit. Dengan
saling membandingkan antara dua ayat sebelumnya tentang langit, ayat dari Surah
Al-Mu’minun di atas dan hadits shahih tentang isra’ mi’raj maka makna batin
dari tujuh langit adalah; bahwa tingkatan ruhaniah ada tujuh lapis, bahwa
perkembangan/pendakian jiwa hingga ke pusat ruhaniah ada tujuh tahapan, bahwa
ada tujuh lapis alam kesadaran/alam halus. Alam ruhaniah diibaratkan sebagai
langit karena seperti langit yang ‘memberi’ hujan kepada bumi, ‘menghidupkan’
bumi sehingga subur untuk ditanami bermacam-macam tanaman. Begitu juga alam
ruhaniah ‘memberi’ ilham kepada hati dan pikiran dengan kekayaan ide sehingga
banyak melahirkan karya-karya mutakhir. Keberadaan lapisan alam halus sebagai
makna batin ayat di atas tersembunyi bagi orang-orang yang menganggap remeh
hadits dan tidak mau mengkajinya. Padahal hadits penuh dengan ilmu rahasia yang
dititipkan Allah kepada kekasih-Nya, Rasulullah saw.
Di
dalam hadits, jumlah langit yang tujuh disebutkan dalam hadits shahih
Bukhari-Muslim dari sahabat Anas r.a :
Telah bercerita kepada kami [Hudbah bin Khalid] telah bercerita kepada kami
[Hammam] dari [Qatadah]. Dan diriwayatkan pula, [Khalifah] berkata kepadaku,
telah bercerita kepada kami [Yazid bin Zurai'] telah bercerita kepada kami
[Sa'id] dan [Hisyam] keduanya berkata telah bercerita kepada kami [Qatadah]
telah bercerita kepada kami [Anas bin Malik] dari [Malik bin Sha'sha'ah
radliallahu 'anhuma] berkata, Nabi saw bersabda: "Ketika aku berada di
sisi Baitullah antara tidur dan sadar". Lalu Beliau menyebutkan, yaitu:
"Ada seorang laki-laki diantara dua laki-laki yang datang kepadaku membawa
baskom terbuat dari emas yang dipenuhi dengan hikmah dan dan iman lalu orang
itu membelah badanku dari atas dada hingga bawah perut, lalu dia mencuci
perutku dengan air zamzam kemudian mengisinya dengan hikmah dan iman. Kemudian
aku diberi seekor hewan tunggangan putih yang lebih kecil dari pada baghal
namun lebih besar dibanding keledai bernama al-Buraq. Maka aku berangkat
bersama Jibril ‘alaihissalam, hingga sampai di langit dunia. Lalu ditanyakan;
"Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi;
"Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad".
Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab;
"Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang, sebaik-baik orang yang
datang telah tiba". Kemudian aku menemui Adam ‘alaihissalam dan memberi
salam kepadanya lalu dia berkata; "(Ucapan) selamat datang bagimu dari
anak keturunan dan nabi". Kemudian kami naik ke langait kedua lalu
ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril".
Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab;
"Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?".
Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya
dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui
'Isa dan Yahya ‘alaihissalam lalu keduanya berkata; "Selamat datang bagimu
dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit ketiga lalu
ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril".
Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab;
"Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?".
Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya
dan ini sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui
Yusuf ‘alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat
datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit keempat
lalu ditanyakan; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril".
Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab;
"Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?".
Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya
dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui Idris ‘Alaihissalam
dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari
saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit kelima lalu ditanyakan;
"Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi;
"Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad".
Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab;
"Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini
sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Lalu aku menemui Harun ‘alaihissalam
dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat datang bagimu dari
saudara dan nabi". Kemudian kami naik ke langit keenam lalu ditanyakan;
"Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi;
"Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad".
Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab;
"Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini
sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Kemudian aku menemui Musa
'alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat
datang bagimu dari saudara dan nabi". Ketika aku sudah selesai, tiba-tiba
dia menangis. Lalu ditanyakan; "Mengapa kamu menangis?". Musa
menjawab; "Ya Rabb, anak ini yang diutus setelah aku, ummatnya akan masuk
surga dengan kedudukan lebih utama dibanding siapa yang masuk surga dari
ummatku". Kemudian kami naik ke langit ketujuh lalu ditanyakan;
"Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi;
"Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad".
Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab;
"Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini
sebaik-baiknya kedatangan orang yang datang". Kemudian aku menemui Ibrahim
'alaihissalam dan memberi salam kepadanya lalu dia berkata; "Selamat
datang bagimu dari saudara dan nabi". Kemudian aku ditampakkan al-Baitul
Ma'mur. Aku bertanya kepada Jibril, lalu dia menjawab; "Ini adalah
al-Baitul Ma’mur, setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat mendirikan sholat
disana. Jika mereka keluar (untuk pergi shalat) tidak ada satupun dari mereka
yang kembali". Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha yang
ternyata bentuknya seperti kubah dengan daun jendelanya laksana telinga-telinga
gajah. Di dasarnya ada empat sungai yang berada di dalam (disebut Bathinan) dan
di luar (Zhahiran)". Aku bertanya kepada Jibril, maka dia menjawab;
"Adapun Bathinan berada di surga sedangkan Zhahiran adalah an-Nail dan
al-Furat (dua nama sungai di surga)". Kemudian diwajibkan atasku shalat
lima puluh kali. Aku menerimana hingga datang Musa 'alaihissalam menemuiku dan
bertanya; "Apa yang telah kamu lakukan?". Aku jawab: "Aku
diwajibkan shalat lima puluh kali". Musa berkata; "Akulah orang yang
lebih tahu tentang manusia daripada kamu. Aku sudah berusaha menangani Bani
Isra'il dengan sungguh-sungguh. Dan ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan
kewajiban shalat itu. Maka itu kembalilah kamu kepada Rabbmu dan mintalah
(keringanan)". Maka aku meminta keringanan lalu Allah memberiku empat
puluh kali shalat, lalu (aku menerimanya dan Musa kembali menasehati aku agar
meminta keringanan lagi), kemudian kejadian berulang seperti itu (nasehat Musa)
hingga dijadikan tiga puluh kali lalu kejadian berulang seperti itu lagi hingga
dijadikan dua puluh kali kemudian kejadian berulang lagi hingga menjadi sepuluh
lalu aku menemui Musa dan dia kembali berkata seperti tadi hingga dijadikan
lima waktu lalu kembali aku menemui Musa dan dia bertanya; "Apa yang kamu
dapatkan?". Aku jawab; "Telah ditetapkan lima waktu". Dia
berkata seperti tadi lagi. Aku katakan; "Aku telah menerimanya dengan
baik". Tiba-tiba ada suara yang berseru: "Sungguh AKu telah putuskan
kewajiban dariku ini dan Aku telah ringankan buat hamba-hamba-Ku dan aku akan
balas setiap satu kebaikan dengan sepuluh balasan (pahala)". Dan berkata
[Hammam] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu]
dari Nabi saw: "Tentang al-Baitul Ma'mur". (HR. Bukhari : 2968)
Kedudukan
hadits dalam hukum islam sangat penting. Hadits menduduki tempat kedua setelah
Al-Quran sebagai sumber hukum. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT dengan bahasa
manusia agar mudah disampaikan (dikomunikasikan). Tetapi ‘bahasa’ Allah
bukanlah bahasa manusia. Bahasa manusia hanya bentuk kompromi dari ‘bahasa’
Allah. Oleh karena itu Al-Quran tidak sekedar apa yang tersurat tetapi juga
yang tersirat dalam beberapa lapis makna batin. Makna batin Al-Quran ini
sebagai pemahaman yang benar, diilhamkan kepada Rasulullah saw dan diwariskan
kepada umatnya melalui perkataan dan perbuatan beliau saw, secara estafet,
turun-temurun dari para sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah saw,
kepada tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga generasi sekarang ini dalam bentuk
hadits. Banyak dari generasi sekarang yang meremehkan peranan hadits ini.
Memang banyak juga hadits yang dloif. Tetapi hal seperti ini tidak dapat
menghapus kedudukan hadits sebagai sumber hukum yang benar dan sah. Hadits
shahih dan hasan masih banyak dan seharusnya menjadi pelengkap dan penyempurna
pemahaman Al-Quran.
Orang yang hanya menafsirkan Al-Quran
berdasarkan akal pikirannya sendiri dengan mengesampingkan hadits atau tanpa
pernah menempuh jalan riyadhoh (disiplin sufi dibawah bimbingan guru sufi)
untuk menyambungkan ilmunya kepada ilmu para pendahulu dan Rasul maka dia telah
menafsirkan Al-Quran dengan prasangkanya dan makna lahiriah semata. Orang-orang
seperti ini diibaratkan seperti orang buta yang memegang belalai gajah dan
berteriak dengan penuh semangat kepada orang banyak bahwa ia telah paham apa
yang disebut gajah.
Ilmu murni itu seperti halnya pusat
pembangkit listrik yang mana setiap rumah memerlukan jaringan kabel terdekat
untuk bisa tersambung dengannya dan menikmati penerangannya yang sempurna,
tidak bisa masing-masing rumah menyambung langsung kepadanya. Ilmu Allah
diturunkan kepada Rasulullah saw, kemudian diwariskan kepada para sahabat,
tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga generasi sekarang melalui jalur pewarisan bukan
mengambil sendiri dengan akalnya. Diwariskan dan diamanatkan melalui tradisi
keilmuan dan pengorbanan di jalan riyadhoh. Banyak orang-orang dari generasi
sekarang yang merasa bisa mengambil ilmu murni tersebut langsung dari Allah SWT
bukan melalui tradisi keilmuan (dan pengorbanan di jalan riyadhoh) yang pintu
gerbang terakhirnya adalah Rasulullah saw. Orang-orang seperti ini tanpa sadar
telah tertipu oleh prasangkanya sendiri. kebatilan yang di’nikmati sendiri
masih bisa ditolerir. Tetapi bila kebatilan sudah disebarluaskan kepada orang
banyak, kerusakan yang ditimbulkannya bisa merusak peradaban. Hal ini seperti
orang yang menggali tanah untuk mendapatkan minyak tetapi melakukannya dengan
cara yang salah, dengan nafsu berlebihan dan melampaui batas. Yang keluar
bukannya minyak tetapi gas berbahaya dan lumpur panas yang menimbulkan
kerusakan lingkungan sekitarnya.
Berjalannya perintah/kehendak Allah sebagai
alur normal dari ayat pertama hingga ayat ketujuh surah Al-Fatihah, lebih mirip
dengan kejadian lahirnya seorang bayi. Tindakan dan amal perbuatan sebagai
hasil akhir proses lahirnya/turunnya kehendak Allah. Sedangkan bayi merupakan
proses akhir lahirnya manusia baru sebagai hasil pembuahan sel sperma terhadap
sel telur.
Hadist riwayat Abdullah bin Masud
ra., ia berkata:
Rasulullah saw. sebagai
orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap diri
kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari
(sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian
menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat
untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara
yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang
yang sengsara ataukah orang yang bahagia. (HR. Muslim
: 4781)
Dalam
hadits-hadits tentang penciptaan manusia di dalam rahim ibu terdapat perbedaan
tentang saat peniupan ruh. Ada yang menyebut sebelum penetapan empat hal dan
ada juga yang menyebut sesudahnya. Kami lebih condong untuk menyebut waktu
peniupan ruh adalah sebelum penetapan dan setelah pembentukan segumpal daging
berdasar ayat di bawah ini,
“Dia menciptakan kamu dari seorang
diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu
delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam
perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat)
demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada
Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (Qs.
Az Zumar : 6)
Tiga
kegelapan tersebut adalah tahap nuthfah, segumpal darah, dan segumpal daging.
Karena kegelapan ibarat dari belum adanya kehidupan. Ketika ruh ditiupkan maka
baru bisa disebut hidup. Ruh seperti sesuatu yang dijelaskan oleh Allah kepada
bakal bayi, baru setelah itu diberi ketetapan, seperti yang disebut oleh ayat
di bawah ini,
“Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan
kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,
kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan
umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang
dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila
telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs.
Al Hajj : 5)
Dalam hubungannya
dengan proses kelahiran bayi, Asma-Nya Ar-Rahman (diibaratkan) berperan sebagai sel
sperma sedangkan Asma-Nya Ar-Rahim (diibaratkan)
berperan sebagai sel telur. “Bismillahir Rahmanir
Rahim” diibaratkan sebagai tahap pembuahan/pertemuan sel sperma dengan sel
telur. “Alhamdulillahir Rabbil Alamin” sebagai proses terbentuknya nutfah atau
saripati manusia. Setiap ciptaan-Nya mengandung hikmah. Hikmah merupakan
saripati dalam setiap makhluk-Nya sehingga melahirkan pujian. “Ar Rahman Ar
Rahim” sebagai proses terbentuknya segumpal darah. Darah mengandung oksigen dan
zat-zat makanan yang berguna bagi kehidupan. Oksigen dan zat makanan ini ibarat
dari limpahan sifat kasih-sayang Allah
lewat Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim. “Malikiy Yaumiddin” sebagai proses
terbentuknya segumpal daging. Segumpal daging ini adalah hati (qalbu/hati
halus). Bila hati baik maka baiklah amal perbuatannya. Bila hati buruk maka
buruklah amal perbuatannya. Hati pula yang akan mempertanggung-jawabkan semua
perbuatan anggota badannya kelak dihari pengadilan. “Iyya kana’buduw wa iyya
kanasta’in” sebagai proses peniupan ruh sebagai esensi manusia. Ibadah dan
memohon pertolongan adalah sifat asli ruh. “Ihdinash Shirathal Mustaqim”
sebagai proses penetapan takdir. “Shirathalladzina an’am ..” sebagai proses
penyempurnaan bentuk dan organ bayi sebagai manusia baru, mewarisi bentuk nabi
Adam as, dimana setiap orang memiliki 360 urat yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, urat yang mendorong untuk berbuat kebajikan dan kelompok kedua,
urat yang mendorong untuk berbuat kejahatan. Bila menginginkan kebaikan maka
biasakanlah untuk mencontoh jalan kebajikan orang-orang terdahulu dan berkumpul
hanya dengan orang-orang baik sehingga menguatkan kelompok urat kebaikan dan
melemahkan urat keburukan.
Berdasar Al-Fatihah juga kita mengetahui
bahwa ada tujuh tahapan perkembangan dan pendakian jiwa menuju kesadaran yang
paling dalam. Hadits mengenai isra’ mi’raj yang telah disebutkan sebelumnya memperjelas
permasalahan ini. Ada tujuh nabi yang menduduki tingkatan langit yang berbeda,
mulai dari langit pertama (langit dunia) yang dihuni oleh Nabiyullah Adam as
hingga langit ketujuh yang dihuni oleh Nabiyullah Ibrahim as. Kedudukan tujuh
nabi pada lapisan alam halus yang berbeda ini sekaligus menunjukkan bahwa ada
tujuh tingkatan ruhani yang dalam kazanah tasawuf disebut sebagai maqom. Bahkan
maqom Rasulullah saw lebih tinggi dari langit ketujuh. Maqom Al Mahmud, maqom
yang tidak ada satupun makhluk yang dapat mencapainya kecuali Rasulullah saw.
Pusat kesadaran atau pusat jiwa manusia,
kalangan sufi menyebutnya sebagai sirr (rahasia) adalah tempat keberadaan
Cahaya Allah. Sirr ini dilingkupi/dibungkus oleh alam ruh. Alam ruh dibungkus
oleh alam qalbu (hati halus). Qalbu dibungkus oleh jiwa (An Nafs). Qalbu
menjadi batas antara alam ruh dan alam jiwa. Alam ruh adalah alam ma’rifat pada
ayat pertama hingga ke-empat Surah Al-Fatihah. Alam jiwa terluar, yang berhubungan langsung dengan jasmani, adalah alam hukum syar’i pada ayat ke-enam dan
ketujuh Surah Al-Fatihah. Sedangkan qalbu pada ayat ke-lima Surah Al-Fatihah,
merupakan alam pertengahan, menjadi tempat esensi kemanusiaan. Tempat yang
dituju oleh jiwa ketika berkembang dari jiwa lawwamah di ayat ke-tujuh menjadi
jiwa mulhimmah di ayat ke-enam dan jiwa muthmainnah di ayat ke-lima. Jiwa yang
tenang adalah jiwa yang sudah berhasil mencapai kehidupan hati. Hati yang hidup
dengan cahaya Allah. Amalan jiwa muthmainnah adalah amalan yang keluar dari
hati, yang bersama hati, yang menyentuh hati tidak sekedar lahiriah belaka.
Agama islam adalah agama fitrah karena sesuai dengan keinginan hati,
mendambakan kesucian dan segala sesuatu yang abadi. Ketika qalbu diciptakan dan
dibawa kehadapan Allah SWT lalu ditanya; “Siapakah Aku?” Maka qalbu menjawab,
“Engkau adalah Rabbku”. Sifat asli/fitrah qalbu adalah ketaatan dan kepatuhan.
Tetapi ketika hawa nafsu dicipta dan ditanya; “Siapakah Aku?” Maka hawa nafsu
menjawab, “Engkau adalah engkau, dan aku adalah aku”. Sifat hawa nafsu adalah
membangkang, ingkar, angkuh dan tinggi hati. Hawa nafsu inilah yang disebut
sebagai nafsu/jiwa Amaroh. Tempat/jalan bagi syetan untuk mempengaruhi dan
mencemari kesucian hati. Agama islam disebut juga sebagai agama pertengahan
karena mengatur hati yang posisinya dipertengahan alam ruh dan alam jiwa. Maqom
ruh adalah maqom yang sangat tinggi, dicapai oleh empat sahabat. Islam tidak
memerintahkan (perintah bila tidak dilakukan berarti berdosa) untuk menjadi
siddiq karena sulit dan sangat tinggi. Dapatkah setiap orang islam diharuskan seperti
sayyidina Abu Bakar yang melepaskan/mensedekahkan seluruh hartanya demi
perjuangan rasulullah saw dan tidak menyisakan sepersenpun untuk diri dan
keluarganya ? Tetapi yang diperintahkan islam adalah menghidupkan hati dengan
Cahaya Ilahi. Maka sholat yang sebenarnya adalah sholat dengan hati, tidak
sekedar gerak badan. Sholat adalah posisi pertengahan. Menghentikan/menstop
kehidupan duniawi (diwakili oleh pikiran. Bila pikiran masih terbang seperti
burung kesana-kemari maka masih berada di dunia belum masuk/mi’raj ke alam
ruhani/akherat). Menghentikan pikiran ini terjadi ketika mengucapkan takbiratul
ikram “Allahu Akbar”. Inilah yang dimaksud sholat wustho, sholat di
pertengahan, sholat dengan hati, beranjak dan meninggalkan kehidupan lahiriah
menuju kehidupan ruhani bersama hati yang posisinya dipertengahan antara alam
ruh dan alam jiwa. Yang dikatakan seimbang yang sebenarnya adalah kehidupan
hati. Kesadaran jiwa yang mencapai hati. Tidak harus di alam ruh yang terlalu
tinggi dan juga tidak di alam jiwa (menghadap alam duniawi melalui panca-indra
yang dikendalikan akal pikiran) yang mudah goyah. Semua amalan bersama hati,
muncul karena dorongan hati yang secara fitrah menginginkan kesucian dan
kebahagiaan ruhani yang abadi bukan karena dorongan nafsu hewani maupun nafsu
amaroh yang hanya menginginkan pemuasan jasmani. Maka hasanah/kebaikan yang
disebut dalam do’a sapu jagat “Robbana ‘atina fiddunya hasanah wa fil akhirati
hasanah..” bukan berarti harus memiliki harta yang melimpah disertai ibadah.
Tetapi maksudnya di dunia badan dapat beramal baik dan berbuat taat (tidak
terjerumus dalam maksiat) dengan mudah, di akhirat hati damai dengan janji surga dan
ma’rifat. Harta benda memang diperlukan untuk menunjang ibadah dan syi’ar agama
tetapi bukan untuk pemuasan syahwat badaniah. Andai harta benda duniawi
berharga disisi Allah dan sebagai ukuran kebahagiaan maka mustahil bagi Allah
menyebutnya sebagai fitnah,
"Ketahuilah olehmu semua,
bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau, perhiasan
dan bermegah-megah antara sesamamu, berlomba banyak harta dan anak.
Perumpamaannya adalah seperti hujan yang membuat takjub orang-orang kafir (yang
menjadi petani) melihat tumbuh tanamannya, kemudian menjadi kering lalu engkau
lihat menjadi kuning warnanya, kemudian menjadi hancur binasa. Dan di akhirat
siksa yang amat sangat untuk mereka itu (yang berbuat kesalahan), juga
pengampunan dari Allah serta keridhaan (bagi orang-orang yang berbuat kebaikan)
dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah kesenangan yang menipu
(fitnah)." (Qs. Al Hadid : 20)
Dan
Rasulullah saw menyebutnya seperti bangkai yang tidak ada harganya,
Telah menceritakan kepada kami
[Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab] telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin
Bilal] dari [Ja'far] dari [ayahnya] dari [Jabir bin Abdullah], Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Salam melintas masuk ke pasar seusai pergi dari
tempat-tempat tinggi sementara orang-orang berada disisi beliau. Beliau
melintasi bangkai anak kambing dengan telinga melekat, beliau mengangkat
telinganya lalu bersabda: "Siapa diantara kalian yang mau membeli ini
seharga satu dirham?" mereka menjawab: Kami tidak mau memilikinya, untuk
apa? Beliau bersabda: "Apa kalian mau (bangkai) ini milik kalian?"
mereka menjawab: Demi Allah, andai masih hidup pun ada cacatnya karena
telinganya menempel, lalu bagaimana halnya dalam keadaan sudah mati? Beliau
bersabda: "Demi Allah, dunia lebih hina bagi Allah melebihi (bangkai) ini
bagi kalian." Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Al Mutsanna Al
Anazi] dan [Ibrahim bin Muhammad bin Ararah As Sami] keduanya berkata: telah
menceritakan kepada kami [Abdulwahhab Ats Tsaqafi] dari [Ja'far] dari [ayahnya]
dari [Jabir] dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam sepertinya hanya saja dalam
hadits Ats Tsaqafi disebutkan: Bila pun hidup, telinga yang menempel ini aib. (HR.
Muslim : No.5257)
Ada tiga warna dasar dalam kehidupan
manusia, yaitu merah, hijau, dan biru. Perpaduan ketiga warna tersebut akan
menghasilkan warna baru yang beraneka macam. Kenyataan ini sama halnya dengan
Surah Al-Fatihah yang menghasilkan ribuan ayat yang lain. Ketiga warna dasar
tersebut merupakan warna Al-Fatihah. Setiap perbuatan manusia dimulai oleh
adanya motivasi. Motivasi ini memberi semangat kepada hati. Hati yang hidup
oleh semangat, mampu menggerakkan anggota badan untuk memenuhi keinginan hati.
Ayat ke-enam dan ke-tujuh Surah Al-Fatihah mempunyai nuansa merah. Warna merah
merupakan warna semangat. Motivasi muncul karena adanya pengetahuan, adanya jalan atau cara
untuk menggapai apa yang diinginkan. Di alam dunia ini banyak sekali jalan atau
cara untuk mencapai tujuan tetapi hanya jalan syari’at, yang berlandaskan
aturan-Nya, saja yang dapat mencapai/memperoleh tidak hanya kesenangan di dunia
tetapi juga kebahagian di akherat.
Setelah menempuh jalan yang sesuai dengan
aturan-Nya maka manusia menemukan jati dirinya, yaitu hamba yang lemah dan
senantiasa memerlukan/bersandar pada pertolongan-Nya. Keinsyafan tentang diri
yang lemah dan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT, yang dapat mewujudkan apapun yang
dikehendaki-Nya, menimbulkan kedamaian dan kelembutan hati. Kedamaian dan
kelembutan hati memancarkan warna hijau seperti yang dipancarkan oleh ayat
ke-lima Surah Al-Fatihah.
Bila penghambaan yang penuh kedamaian dan
kelembutan hati ini terus menerus dipelihara/istiqomah maka akan memancar air
jernih ilmu ma’rifat yang luas bagai lautan biru. Yang jauh di kedalamannya
terdapat mutiara yang tak ternilai harganya, putih cemerlang. Mutiara ini hanya
dapat dijangkau dengan perpaduan semangat merah, kedamaian hati yang hijau, dan
kepekaan ma’rifat yang biru. Pengorbanan jiwa dan raga mengarungi gelombang
badai kehidupan (lautan) dengan kesabaran dan kerendahan hati mendapatkan
imbalan yang setimpal, mutiara jiwa, jauhar kehidupan yang menuntunnya menuju
kebahagiaan di dua alam, dunia dan akherat, kedua-duanya.
Halaman berikutnya :
- Qadha dan Qadar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar