![]() |
Guru Zaini bin Abdul Ghoni |
Beliau
adalah ulama' termasyhur, juga sosok Waliyullah kharismatik di Martapura, Kalimantan
Selatan, yang menyatukan syari’at, tarekat dan hakikat dalam dirinya. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul,
dan juga salah seorang ulama yang mempopulerkan Simthud Durar atau Maulid
Habsyi di Kalimantan Selatan. Pada zamannya Guru Ijai adalah
satu-satunya ulama Kalimantan, atau mungkin di Indonesia, yang mendapat
otoritas untuk mengijazahkan Tarekat Sammaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Samman.
Masa kecil
dan pendidikan
Zaini
Abdul Ghani atau Guru Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di
Kampung Tunggul Irang Seberang, Martapura. Beliau masih keturunan dari ulama
besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Di masa kecilnya beliau memiliki keistimewaan
yakni tak pernah mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan
pertamanya diberikan oleh kedua orang tuanya, Haji Abdul Ghani dan Hajah
Masliah binti Haji Mulya, dan oleh neneknya, Hajah Salbiyah. Bersama neneknya
inilah beliau suka sekali membaca al-Qur’an. Pada usia tujuh tahun beliau
masuk madrasah di Kampung Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini beliau
belajar al-Qur’an pertama kali kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong
orang sederhana, selalu membekalinya sebotol minyak untuk diberikan kepada
gurunya ini. Sejak usia 10 tahun Guru Ijai telah dikaruniai kassyaf
hissi, yakni mampu melihat dan mendengar apa-apa yang tersembunyi atau
hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun beliau dikaruniai futuh(pencerahan
spiritual) saat membaca sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula
beliau mengalami perjumpaan spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu
Rasulullah. Kedua cucu Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan
mengenakannya langsung kepada beliau lengkap dengan sorbannya.
Beliau
melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur,
kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga berasal dari Martapura. Di sini beliau
selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya
beliau berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini,
beliau juga mendalami syariat dan tarekat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di
Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar,
Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin
ibn Muhammad Arsyad. Atas petunjuk Syekh Ali Junaidi, beliau kemudian belajar
kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai
belajar tentang ajaran Nur Muhammad. Beliau juga mendapat ijazah Maulid Simthud
Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo,
Jawa Tengah.
Beliau
sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun,
kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh
seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian
dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. Pada 1988 beliau pindah
ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol.
Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan
tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti
Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari
barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh
nasional menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur,
Megawati, AA Gym dan sebagainya.
Pengaruh
kehidupan keluarga
Gemblengan
ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam.
Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan
kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga
ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun
deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot.
Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya
menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan
dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul
Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul
juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi
dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh
kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari
kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain,
jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada
generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.
Beberapa
cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri
dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur,
dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada
masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh,
ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada beliau.
Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk
keluarga.
Adapun
sistem mengatur usaha dagang, ayah beliau menyampaikan bahwa setiap keuntungan
dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan
keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk
disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini,
“bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil
beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian
sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak,
sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung berhenti
dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Guru Ijai menikah tiga
kali, dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad
Amin Badali al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.
Ajaran dan karamah
Sebagai
ulama, beliau dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar,
dermawan dan tekun. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, beliau tak pernah
mengeluh – bahkan pernah beliau dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya
namun beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Beliau juga mengajarkan
agar orang senantiasa mencintai dan hormat kepada ulama yang baik dan saleh.
Hal ini dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu
di tempat yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari
tertentu semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan kyai tersebut.
Jika ada yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek
keadaan dirinya, beliau hanya diam, karena beliau menganggap mereka adalah
orang-orang yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang selalu
dijamu makanan, termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang
selalu datang ke pengajiannya dan selalu diberi jamuan makan.
Kedermawanannya
ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat
yang disinggahinya. Salah satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu
adalah sifat tercela. Beliau sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan bagi
orang bakhil.” Beliau juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya
menuntut ilmu dan diamalkan. Salah satu keunikannya dalam berdakwah adalah
perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu beliau mendatangkan
dokter spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan
penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Beliau juga menulis beberapa
kitab, di antaranya adalah Risalah Mubarakah; Manaqib
as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman
al-Madani; Risalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah;
dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham
Muhammad bin Ali Ba’Alawy.
Beberapa
kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung
Keraton beliau biasanya duduk-duduk dengan beberapa orang sambil bercerita
tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu
saat beliau bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya.
Tiba-tiba beliau mengacungkan tangannya ke belakang, seolah-olah mengambil
sesuatu, dan mendadak di tangan beliau sudah memegang buah rambutan matang,
yang kemudian beliau makan. Beliau juga bisa memperbanyak makanan – setelah
makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh lagi,
seakan-akan tak dimakan olehnya. Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim
kemarau panjang, dan sumur-sumur mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru
Ijai agar berdoa meminta hujan. Beliau lalu mendekati sebatang pohon pisang,
menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Beliau
juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang dengan kekuatan spiritualnya.
Beberapa
Catatan lain berupa beberapa kelebihan beliau adalah dia sudah hafal Al-Qur'an
semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada
usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun
bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke
pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang
pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh
Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang.
Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi
”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.
Dalam
usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan
anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan
mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula
beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti
masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya
sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki
tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta
memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan,
jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya
ditobatkan.
Pada
usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun
dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih
dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk,
tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam
jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga,
ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut
oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang
kosong.
Ketika
beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang
yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya
dalam mimpi tersebut.
Meninggal
dunia
Sebelum
meninggal dunia Guru Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth,
Singapura, selama 10 hari. Tetapi pada hari Selasa malam beliau pulang dan tiba
di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya,
Rabu 10 Agustus 2005, pukul 5.10 waktu setempat, beliau meninggal dunia. Ribuan
orang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengiringi jenazah
beliau hingga ke pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul
lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari
berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk
memberikan penghormatan terakhir pada almarhum. Pasar Martapura yang biasanya
sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan
toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas,
termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk
memberikan penghormatan terakhir. Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman
keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga
masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah
secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah,
Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.
Petuah
Meski
memiliki karamah, beliau selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan
segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah,
murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan
pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah
atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah
istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya
karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang
yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
- Menghormati ulama dan orang tua
- Baik sangka terhadap muslimin
- Murah harta
- Manis muka
- Jangan menyakiti orang lain
- Mengampunkan kesalahan orang
lain
- Jangan bermusuh-musuhan
- Jangan tamak atau serakah
- Berpegang kepada Allah, pada
kabul segala hajat
- Yakin keselamatan itu pada
kebenaran.
Seputar
Nasab Beliau
Beliau
sering disebut-sebut sebagai Habib keturunan Rasulullah, padahal beliau sendiri
tidak pernah menambahkan dibelakang nama beliau dengan fam tertentu. Lalu
darimana isyu tersebut?, mari kita telusuri nasab beliau.
- K H. Muhammad Zaini
- Abdul Ghani
- H Abdul Manaf
- Muhammad Seman
- H M. Sa’ad
- H. Abdullah
- Mufti H. M. Khalid
- Khalifah H. Hasanuddin
- Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari
Sampai disini, tidak ada
perbedaan karena memang diingat, dicatat, dan dijaga dengan baik oleh Guru
Sekumpul serta keluarga beliau. Perbedaan terjadi ketika kita meneliti nasab
dari Sekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan tokoh Islam terbesar di bumi
Banjar.
Ada beberapa versi
catatan nasab Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ada yang mengatakan lima versi,
namun yang saya temukan hanya dua dan itupun masih dalam versi yang sama karena
yang kedua tidak jauh beda dengan yang pertama, hanya ketinggalan 2 orang, mungkin
kesalahan penyalinan saja.
Pertama, catatan dari 3
kitab, yaitu: Syajaratul Arsyadiyah, Syeikh Muhammad Arsyad Al
Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, dan Maulana Syeik Muhammad
Arsyad Al Banjari. Yaitu sebagai beikut:
- Muhammad Arsyad Al Banjari
- Abdullah
- Abu Bakar
- Sultan Abdurrasyid Mindanao
- Abdullah
- Abu Bakar Al Hindi
- Ahmad Ash Shalaibiyyah
- Husein
- Abdullah
- Syaikh
- Abdullah Al Idrus Al Akbar
(datuk seluruh keluarga Al Aidrus)
- Abu Bakar As Sakran
- Abdurrahman As Saqaf
- Muhammad Maula Dawilah
- Ali Maula Ad Dark
- Alwi Al Ghoyyur
- Muhammad Al Faqih Muqaddam
- Ali Faqih Nuruddin
- Muhammad Shahib Mirbath
- Ali Khaliqul Qassam
- Alwi
- Muhammad Maula Shama’ah
- Alawi Abi Sadah
- Ubaidillah
- Imam Ahmad Al Muhajir
- Imam Isa Ar Rumi
- Al Imam Muhammad An Naqib
- Al Imam Ali Uraidhy
- Al Imam Ja’far As Shadiq
- Al Imam Muhammad Al Baqir
- Al Imam Ali Zainal Abidin
- Al Imam Sayyidina Husein
- Al Imam Amirul Mu’minin Ali
Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
- Rasulullah SAW[1]
Kedua, terdapat pada
kitab yang dikarang oleh seseorang tanpa nama dengan judul Silsilah
Siti Fatimah, sebagai berikut:
- Muhammad Arsyad Al Banjari
- Abdullah
- Abu Bakar
- Abdurrasyid
- Abdullah al-Idrus al-Magribi
- Abu Bakar al-Hindi
- Ahmad
- Husin
- Abdullah
- Syaikh
- Abdullah Al-Idrus
- Abu Bakar as-Sakrani
- Abdurrahman as-Saqafi
- Maulana Ad-Duwailah
- Ali
- Alwi
- al-Faqih al-Muqaddam Muhammad
- Ali Khala Qasim
- Alwi
- Muhammad
- Alwi
- Abdullah
- Ahmad al-Muhajir lillah
- Isa an-Naqib
- Muhammad an-Naqib
- Ali al-Arid
- Ja’far as-Sadiq
- Muhammad al-Baqir
- Ali Zainal Abidin
- Sayyidina Husin
- Sayyidina Ali dan
Sayyidina Fatimah az-Zahra
- Sayyidina Muhammad SAW.[2]
Kedua
versi silsilah/nasab diatas sama saja, hanya saja pada silsilah kedua ada yang
terlewatkan dan saya tidak tahu apakah itu kesalahan M. Rusydi yang
menyalin atau memang dari kitab Silsilah Siti Fatimah-nya.
Pada catatan nasab yang kedua tidak ada Ali Faqih Nuruddin dan Muhammad
Shahib Mirbath yang pada nasab pertama berada di nomor 18 dan 19.
Perbedaan lainnya
terdapat pada penulisan nama. Ada dua nama yang berbeda namun orang tua (bin)nya
sama, yaitu Ubaidillah Bin Ahmad Al Muhajir dan Isa Arrumi Bin Muhammad
Annaqib
- Pada catatan nasab pertama
tertulis Ubaidillah (nomor 24) sementara pada catatan nasab yang kedua
tertulis Abdullah (nomor 22)
- Pada catatan nasab pertama
tertulis Isa Arrumi (nomor 26) sementara pada catatan nasab yang
kedua tertulis Isa an-Naqib (nomor 24)
Saya tidak bisa
mengetahui secara pasti apakah kedua nama itu orang yang sama, hanya kekeliruan
penulisan saja atau memang orang yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan
pada catatan nasab tersebut mungkin hanya kesalahan penyalinan saja, yang jelas
kedua nasab tersebut membenarkan bahwa Muhammad Arsyad Al Banjari adalah
seorang keturunan Rasulullah, yang secara otomatis menyatakan bahwa yang mulia
Guru Sekumpul juga seorang habib ber fam Al-Idrus (Al-Aydrus). Lalu
mengapa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tidak menyertakan fam Al-Idrus
(Al-Aydrus) dibelakang nama beliau?. Keterangan yang saya dengar langsung
dari Guru Sekumpul dalam pengajian beliau, bahwa penyembunyian Nasab itu
bertujuan untuk menghindari penjajah Belanda yang katanya pada waktu itu
mengincar setiap orang yang didirinya mengalir darah Rasulullah.
Sumber
: http://www.cubungcinta.com
[1] (1). Syajaratul
Arsyadiyah, Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan
Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H. (2).Syeikh
Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W.
Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990. (3). Maulana
Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Abu Daudi, Dalam Pagar, Martapura.
Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003. — Saya tidak membaca langsung dari ketiga
kitab tersebut, hanya menyalin dari Wikipedia
—
[2] Tanpa Nama,
Silsilah Siti Fatimah (Salatiga: tanpa penerbit, 1992) 1. Dalam “THE
INFLUENCE OF MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI ON THE RELIGIOSITY OF BANJARESE SOCIETY”
oleh M. Rusydi (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Sumber : http://arisandi.com/
Daftar Video :
- Pengajian Nisfu Sya'ban - 1
- Pengajian Nisfu Sya'ban - 2
- Pengajian Nisfu Sya'ban - 1
- Pengajian Nisfu Sya'ban - 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar