islam,mahkota islam,moslem,muslim,solusi,solution,sains,technology,teknologi,quran,nusantara

Senin, 17 Oktober 2016

Setiap artikel boleh dicopy dan disebarluaskan, tetapi hendaknya dengan menyertakan link tulisan kami ini. Terima kasih.

UKURAN KEBENARAN MANUSIA









UKURAN KEBENARAN MANUSIA

Ada sebuah pernyataan menggelitik, yang mengatakan bahwa semua tafsir tidak ada yang benar secara mutlak. Kebenaran yang mutlak hanya milik Allah dan RasulNya. Pernyataan seperti ini benar tetapi memerlukan syarat atau kondisi pemahaman yang benar atas pernyataan itu sendiri. Artinya orang yang mengatakannya haruslah paham apa yang dia katakan sehingga dapat menjelaskan dengan gamblang kelengkapan dari pernyataannya. Jika tidak maka pernyataan tersebut merupakan racun yang berbahaya. Pernyataan tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan umat kepada ulama. Pernyataan tersebut dapat menjauhkan umat dari ulama. Pernyataan tersebut dapat menimbulkan penafsir-penafsir liar yang menafsirkan ayat tanpa ilmu.
Kebenaran yang mutlak milik Allah dan RasulNya. Setelah Rasul wafat apakah kebenaran sudah tidak ada lagi? Kebenaran tetaplah abadi karena Rasul tetap ada melalui ulama-ulama yang telah ittishal kepada diri Rasul. Ulama-ulama yang telah tersambung ilmunya kepada ilmu Rasul. Ulama-ulama yang telah tersambung kalbunya kepada kalbu Rasul (Fu’ad). Ulama-ulama yang hidup di dalam kalbu Rasul. Ulama-ulama yang Haq, wali Muhammadiy, pewaris sebenarnya dari cahaya Rasul. Penerima sir (rahasia) Rasul. Apakah ulama-ulama tersebut masih ada di zaman kaum muslim berbondong-bondong menunjukkan bahwa dirinya yang paling moderat islamnya, paling toleran? Kami pastikan tetap ada hingga datangnya Imam Mahdi r.a sebagai wali Muhammadiy yang terakhir (semoga Allah SWT berkenan segera menampilkan beliau r.a karena umat sudah kehilangan panutan. Jare koncoku ngomong ngene sik ta lah. Lak Imam Mahdi muncul berarti bar ngono kiamat rek. Lha aku durung rabie. Yak opo lak Imam Mahdi muncul ae gak popo, tapi kiamate mengko disik ngenteni aku rabi.’). Jika tidak bertemu dengan wali Muhammadiy (hanya satu wali Muhammadiy di setiap kurun zaman sehingga sulit melacaknya kecuali sesama wali Qutb) maka ulama-ulama yang hidup dengan cahaya empat malaikat utama (Jibril a.s, Mikhail a.s, Izrail a.s, Israfil a.s) sudah cukup untuk dimintai fatwa-fatwanya yang pasti kebenarannya. Karena mereka tidak berbicara kecuali atas ijin dan kehendak Allah dan RasulNya.
Jika tidak bertemu dengan wali-wali tersebut bukan berarti ulama yang lain tidak bisa dipercaya kebenarannya. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang berbahaya dan kurang memahami rahmat Allah. Masih ada ulama-ulama yang menguasai ilmu tafsir Al Quran. Bedanya, tafsir yang mereka kemukakan mungkin (terpaksa) hanya mensolusi satu atau dua kontek pembicaraan. Wali Muhammadiy, seperti salah satunya Syaikh Abdul Qodir Al Jailani r.a dapat menguraikan satu ayat menjadi beberapa penafsiran dimana masing-masing tafsir sesuai dengan alam kesadaran manusia. Sehingga beliau mampu menafsirkan satu ayat Al Quran menjadi 10 penafsiran yang masing-masing tafsir tersebut menjadi konsumsi bagi masing-masing kelompok manusia. Manusia berdasarkan kesadarannya terbagi menjadi 10 kelompok. Ada kesadaran lahiriah, ada kesadaran aqliyah (pemikiran), ada kesadaran qolbiyah (rasa), ada kesadaran ruhiah hingga kesadaran musyahadah (penglihatan nadhoriah).
          Begitu juga dengan tafsir dari surah Al Maidah ayat 51. Ada beberapa mufassir yang berkompeten, yang benar-benar diakui keilmuannya seperti sahabat Ibnu Abbas r.a dan Imam Jalaluddin As Suyuti r.a dapat mewakili mufassir yang ada. Mereka mengeluarkan tafsir tidak berdasarkan hawa nafsu. Bahkan kebanyakan dari mereka puasa, sholat dan dzikir dulu sebelum menafsirkan suatu ayat. Tidaklah tepat kalau kita mengatakan bahwa tafsir yang mereka keluarkan masih dapat diragukan. KAMI KATAKAN DENGAN LANTANG, BAHWA SEMUA TAFSIR YANG DIKELUARKAN OLEH PARA MUFASSIR SALAF YANG SHAHIH ADALAH BENAR SEMUA. Inilah rahmat Allah. Kalian dapat memakai setiap tafsir untuk kontek yang berbeda. Tafsir dari para salafus sholih ibarat jajanan yang bermacam warna. Kalian bisa mengambil salah satu sesuai dengan kondisi. Bisa jadi hari ini kita kepingin lemper karena tadi malam istri hanya tidur klenger. Besoknya cuma pingin serabi karena tadi malam gigit jari (lak podo ae rek). Bercanda biar tidak tambah runyam permasalahan.
QS. Al Maidah 51 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa’mu; sebagian mereka adalah auliyaa’ bagi sebagian yang lain. Barangsiapa menjadikan mereka walla bagi dirinya, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
Tafsir Ibnu Abbas :
Wahai orang-orang yang percaya kepada Muhammad dan Al Quran. (Jangan engkau jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman) untuk mendapatkan bantuan dan pemeliharaan. (Orang-orang Yahudi adalah sekutu bagi orang-orang Nasrani dan sebaliknya) Siapa yang mengikuti kepercayaan mereka secara rahasia maupun terang-terangan, maka ia adalah kelompok mereka. (Ia menjadi bagian dari mereka) Wahai orang-orang yang beriman (siapa yang menjadikan mereka teman dengan) mencari bimbingan dan pertolongan (kepada salah satu dari mereka) di dalam sebuah persekutuan maka baginya tidak akan mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari Allah. (Allah tidak akan memberi petunjuk) kepada dia yang mempercayai (dengan kekaguman) orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Tafsir Jalalain :
“(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.”

          Kedua tafsir diatas kelihatannya berbeda tetapi sebenarnya keduanya mempunyai ‘ruh’ yang sama yaitu jangan meletakkan kepercayaan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tafsir dari sahabat Ibnu Abbas dipakai dalam kontek pertemanan yang saling terikat dalam sebuah persekutuan. Hal ini berdasarkan asbabun nuzul (latar-belakang turunnya ayat) dari ayat tersebut, yaitu sahabat Ubadah bin Shamit dan si munafiqun Abdullah bin Ubay terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kaum yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri sedangkan sahabat Ubadah berangkat menghadap Rasulullah saw untuk membersihkan diri dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ dan menyatakan taat hanya kepada Allah dan RasulNya. Maka bentuk pertemanan seperti ini seharusnya dihindari karena bisa jadi akan merugikan islam di kemudian hari. Tetapi pertemanan tanpa perjanjian yang mengikat kedua belah pihak tidaklah mengapa.
          Imam Jalaluddin menafsirkan ayat tersebut dalam kontek kepemimpinan karena menghubungkannya dengan dua ayat sebelumnya (Al Maidah ayat 49 dan 50) dan ayat sesudahnya (Al Maidah ayat 52). Dimana kedua ayat sebelumnya berbicara mengenai hukum (memutuskan permasalahan). Sedangkan ayat sesudahnya berbicara tentang kesejahteraan (dimana dengan latar belakang Abdullah bin Ubay ragu dipimpin Rasulullah yang saat itu masih kekurangan, sehingga lebih memilih Yahudi yang lebih berkecukupan). Tidak bisa tidak, seorang pemimpin mempengaruhi aturan yang berlaku. Imam Jalaluddin membuat penafsiran tersebut sebagai bentuk pencegahan umat islam terjebak dalam situasi dimana mereka harus tunduk kepada hukum jahiliyah, misalkan menghalalkan makan daging anjing, menghalalkan lokalisasi pelacuran, menghalalkan minuman keras dan sebagainya. Dan dari pemimpin yang hanya mementingkan kesejahteraan lahiriah. Sedangkan orang seperti Rasulullah saw memperhatikan kesejahteraan dalam segala aspek. Sejahtera ruhnya, sejahtera hatinya, sejahtera akalnya dan sejahtera lahirnya. Imam jalaluddin As Suyuti menafsirkan surat Al Maidah ayat 51 tidak berdiri sendiri tetapi mengaitkannya sebagai satu kesatuan dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya.
Akar kata Auliyaa’ adalah Waliy (bentuk tunggal dari Auliyaa’). Al Waliy adalah salah satu asma Allah SWT. Al Wali adalah Dia yang maha memelihara, membimbing, menolong, memimpin ke jalan yang benar, maha pelaksana urusan hambaNya. Pemeliharaan, pertolongan, kepemimpinan, dan keperdulian urusan hambaNya atas dasar cinta dan pemahaman kebutuhan hambaNya. Auliyaa’ adalah kepada siapa kita berserah diri untuk dipelihara, dipimpin dan diperhatikan urusan kita. Karena itu orang-tua dapat disebut sebagai wali anaknya karena memelihara, membimbing, memimpin ke jalan yang benar, perduli dengan urusan anaknya, memahami kebutuhan anaknya, dimana anak yang belum dewasa menyerahkan semua urusannya kepada orang-tua. Seorang guru dapat menjadi wali kelas karena padanya murid-murid menyerahkan segala urusannya dengan pihak sekolah. Seorang yang mencintai Allah dan RasulNya secara benar dan sungguh-sungguh dapat menjadi wali bagi kaum muslim karena padanya kaum muslim dapat menyerahkan permasalahannya dan mendapatkan bimbingan ke jalan yang benar. Jika mengikuti kelompok yang menafsirkan ayat secara berdiri sendiri, tanpa dihubungkan dengan ayat yang lain, berdasar uraian di atas maka kata Auliyaa’ lebih tepat diartikan sebagai pengasuh. Orang-tua adalah pengasuh anak-anaknya. Mursyid adalah pengasuh ruhani murid-muridnya. Sehingga bisa dikatakan seorang Mursyid adalah orang-tua ruhani dari anak-anak didiknya. Pemimpin pun dapat dikatakan pengasuh dari warganya dalam kaitannya dengan bimbingan dan perlindungan, apalagi jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan hukum. Tetapi pertanyaannya apakah bisa suatu ayat berdiri sendiri? Sedangkan surat Al Fatihah saja menunjukkan kepada kita bahwa setiap ayatnya saling berhubungan, bahkan tujuh ayatnya adalah pancaran cahaya (ilmu) dari tujuh huruf di dalam ayat Basmallah. Misalnya ayat ketujuh adalah penjelasan dan jawaban dari ayat keenam sedangkan ayat keenam adalah kondisi yang meliputi hati orang yang bersandar pada pertolongan Allah dari ayat kelima.
Jika kita memakai bahasa thoriqot untuk menafsirkan surat Al Maidah 51 maka redaksinya seperti berikut,
“Wahai jiwa-jiwa yang berserah diri, janganlah kamu menjadikan syaitan dan hawa nafsu menjadi imammu; sebagian mereka adalah imam bagi sebagian yang lain. Jiwa yang berimam kepadanya, maka sesungguhnya termasuk pengikutnya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada jiwa-jiwa yang zholim.”
Tetapi bahasa thoriqot (atau bahasa qolbu) adalah bahasa khusus untuk orang-orang thoriqot. Orang di luar thoriqot akan menyangkal penafsiran seperti ini. Kami menyadari itu dan tidak perlu dibahas kebenarannya. Kami mengemukakan ini bukan untuk diikuti tetapi sekedar menunjukkan bahwa ada beberapa bahasa sesuai dengan alam kesadaran manusia, bahkan ayat di atas dapat ditafsirkan dengan bahasa ruhiah dan bahasa hakekat. Imam Jalaluddin As Suyuti r.a pun paham dengan bahasa thoriqot seperti ini tetapi yang beliau seru adalah kalayak umum, tidak bisa memakai bahasa thoriqot. Harus memakai bahasa syariat yang menjadi konsumsi umum. Karena itu beliau menafsirkan ayat di atas dengan kepemimpinan. Sebenarnya kami teramat prihatin dengan orang-orang yang mengangap kecil keilmuan ulama-ulama seperti beliau dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Mereka adalah orang-orang yang rela memikul beban umat dengan mengemukakan suatu penafsiran. Hendak menafsirkan suatu ayat secara tuntas (mutlak) tidak mungkin karena sasarannya adalah kalayak umum. Maka dicari jalan mudah dengan memakai bahasa syariat. Orang-orang seperti beliau sadar, ketika mengemukakan suatu ilmu maka berarti juga memikul beban dari pengikut ilmu tersebut karena beliau yang nantinya mempertanggung jawabkan ilmu yang dianut pengikutnya. Tetapi rupanya di zaman ini umat hendak digiiring untuk memikul beban sendiri, padahal ada ulama-ulama yang ikhlas ingin meringankan beban umat.
Sebenarnya makna Auliyaa’ sangatlah banyak. Berikut beberapa ayat yang juga mengandung kata Auliyaa’ atau waliy;
QS. Al Maidah 55 :
Sesungguhnya waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Imam Jalaluddin r.a menafsirkannya dengan penolong karena ditegaskan oleh ayat sesudahnya yaitu QS. Al Maidah 56 :
Dan barangsiapa menyerahkan waliynya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Bahwa pertolongan dari Allah dan RasulNya yang akan melahirkan kemenangan. Kemenangan dengan siapa? Yaitu kemenangan melawan bujukan nafsu dan syaitan. Yang tidak bisa tidak harus kita hadapi dalam setiap menentukan suatu langkah dan sikap. Setelah mampu menang melawan hawa nafsu dan bujukan syaitan maka kehidupannya akan diwarnai kebahagiaan.
QS. Al Maidah 57 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai auliyaa’mu. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.
Imam Jalaluddin r.a menafsirkannya dengan kepemimpinan karena yang (relatif) mudah berbuat zhalim adalah orang yang memiliki kekuasaan. Pemimipin adalah pihak yang memegang kekuasaan. Karena pemimpin memiliki potensi (potensi ini mewujud atau tidak tergantung kepada akhlak si pemimpin) untuk meremehkan pihak yang dipimpin. Ketika potensi ini mewujud maka bisa menimbulkan sikap mempermainkan (meremehkan) ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dianutnya tetapi di anut oleh pihak yang dipimpin.
QS. Fushshilat 31 :
Kamilah auliyaa’mu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Imam Jalaluddin menafsirkan dengan pelindung karena berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu QS. Fushshilat 30,
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Beberapa malaikat akan diperintahkan Allah untuk menjadi pelindung orang-orang yang benar, teguh dan istiqomah dalam keimanannya. Malaikat-malaikat tersebut akan mengabarkan (membisikan) anugerah-anugerah yang menanti mereka berupa surga kenikmatan dan pemenuhan segala kebutuhan mereka. Sehingga membuat mereka merasa tentram dan yakin. Malaikat-malaikat tersebut juga memudahkan segala urusan keduniawian mereka sehingga mereka tidak perlu terlalu larut dan lelah memikirkan kehidupan.
          Di dalam kehidupan ini tidak mungkin terjadi keseragaman. Orang yang mampu berakhlak luhur tidak bisa menuntut orang lain seperti dirinya. Ia hanya bisa memberi nasehat tetapi tidak boleh memaksa karena pemaksaan sendiri bukanlah akhlak luhur. Kita mengkampanyekan sikap toleran tetapi berkata kasar dan bersikap keras kepada orang yang tidak bisa toleran. Lalu apa bedanya kita dengan mereka (yang bersikap keras dan memaksakan kehendaknya)? Akhlak luhur tidak bisa dihasilkan hanya dengan pembicaraan tetapi dengan amal ibadah yang nyata, sholat yang benar.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (kalbu) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam 96)
Habib Ahmad bin Hasan Al Aththos r.a, salah seorang ulama hadhramaut, berdasarkan ayat di atas menafsirkan akhlak luhur adalah sebuah anugerah. Kami sangat setuju dengan penafsiran beliau karena akhlak luhur adalah salah satu cahaya Rasulullah saw. Orang yang mendapatkan cahaya Rasul (sehingga mampu berakhlak luhur) adalah orang-orang yang memiliki iman di dalam hatinya dan diikuti iman tersebut dengan amal sholih. Jika orang yang beranggapan dirinya berakhlak luhur tetapi masih meninggikan suaranya terhadap orang yang jauh lebih tua darinya maka akhlak luhurnya hanyalah teori dan bentukan dari pembicaraan saja tanpa laku nyata dalam riyadhoh dan sholat yang benar, yang menghasilkan iman yang benar.
Allah menjadikan umat islam, ada golongan yang keras dan ada golongan yang luwes dengan tujuan melanggengkan islam itu sendiri. Ada nilai-nilai islam yang perlu ketegasan dan ada juga yang memerlukan kelembutan. Dan tidak semuanya dapat dirangkum dalam satu individu. Keberadaan NU dan Muhammadiah sendiri adalah wujud kecintaan Allah kepada bumi Nusantara. Dengan adanya dua kubu maka langgenglah islam di bumi Nusantara. Yang satu dominan memperjuangkan rasa, yang lain lebih cenderung pemikiran. Sesuatu yang sempurna jika rasa dan pemikiran berjalan seiring, bersinergi menciptakan peradaban yang luhur.
Kita tidak perlu melarang orang untuk bereaksi jika agamanya, Allah dan RasulNya di lecehkan. Yang perlu kita larang adalah cara-cara yang liar dan kasar. Allah memang tidak perlu dibela karena Dia tidak memerlukan pembelaan kita. Allah akan membela diriNya sendiri lewat hati nurani yang ditanam di dalam diri kita. Hati akan merasakan ketidak nyamanan jika kita telah berbuat dosa atau melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani. Kecuali orang yang sudah terkunci hati nuraninya. Begitu juga jika agama, Allah dan RasulNya dilecehkan, hati nurani serasa berontak. Hal seperti ini adalah wajar dan fitrah. Hanya saja pemberontakan ini haruslah dengan cara yang santun dan memahami permasalahan, bukan hanya ikut-ikutan terbawa arus. Hati nurani adalah kebenaran (Al Haq) yang di tanam Allah di dalam lubuk yang terdalam (terghaib). Hati nurani adalah Al Quran. Hati nurani adalah sebagian dari fitrah dimana Allah menciptakan manusia berdasarkan citraNya. Karena itu pembelaan manusia terhadap Al Haq (hati nurani) adalah pembelaan Allah sendiri. Hanya saja tidak setiap orang mampu membela kebenaran dengan cara yang sempurna (benar dan santun). Tetapi bukan berarti justifikasi untuk melarang membela kebenaran.
Kebenaran memang mutlak milik Allah tetapi manusia juga mempunyai kebenaran yang mutlak sebatas standar (Ukuran/Qodar) yang telah diberikan Allah. Qodar dari kebenaran manusia adalah KITABULLAH. Qodar bagi kebenaran manusia adalah Al QURAN Al AZHIM. Qodar bagi kebenaran manusia adalah sebatas ilmu Rasulullah saw (bukan ilmu Allah). Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang setara Rasulullah saw. Kami katakan ‘perkataan anda benar pada susunan kata tetapi salah dalam konteknya’.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir 32)
Dalam kontek kebenaran, masih ada orang-orang yang mewarisi kitabullah langsung dari Rasulullah saw, tersambung Qolbunya ke Fuad Rasul, tersambung Bashirohnya ke Nadhor Rasul. Selama masih ada orang yang mampu Ittishol kepada Rasulullah saw maka jejak kebenaran Rasulullah masih tetap ada. Orang-orang seperti mereka menjadi ‘wadah’ dari kebenaran Rasulullah saw. Dan kami tegaskan sahabat Ibnu Abbas r.a dan Imam Jalaluddin As Suyuti r.a termasuk orang-orang seperti itu.
Fundamental adalah baik dalam asal katanya. Segala sesuatu tanpa fundament (pondasi) yang kuat akan runtuh. Tetapi kaum zionis dan orientalis melekatkan frase kata ini kepada orang-orang yang menginginkan nilai-nilai islam yang murni (islam yang dipahami oleh para sahabat) sehingga muncullah istilah Islam Fundamentalis. Tidak semua orang-orang yang disebut oleh dunia barat sebagai Islam Fundamentalis ini benar dalam perjuangannya, ada yang santun, ada pula yang kasar dalam penyampaiannya. Bahkan zionis berperan menunggang (membina) pada kelompok yang keras dan awam sehingga terbentuklah ISIS. Tetapi dunia sudah terlanjur masuk dalam permainan ‘jebakan kata’ ini sehingga hanya melihat kepada yang kasar saja, yang santun terlupakan. Dan jadilah Islam Fundamentalis hanya milik golongan yang kasar. Tokoh-tokoh islam tanpa sadar juga sudah masuk ranah permainan kata ini, membuat istilah-istilah yang sejenis, masuk permainan mereka, mengikuti arah tujuan mereka tanpa sadar.
Dalam kasus seorang calon pemimpin yang telah ‘memperolok’ ayat suci Al Quran (karena ia telah secara ringan menyebut suatu ayat suci setara dengan alat bualan yang lain).  Mis: si bodor di bohongi pakai mantra atau si kolor di bohongi pakai sulap. Jika dihubungkan dengan kasus ini berarti menempatkan suatu ayat Al Quran setara dengan mantra, sihir, atau sulap. Jika ia meminta maaf maka kaum muslim (semoga) bisa berlapang dada untuk menerimanya biar tidak timbul dugaan bahwa memperkarakannya adalah untuk kepentingan politik kubu tertentu. Tetapi haruslah ada perjanjian tertulis jika ia dikemudian hari melakukan ‘olok-olok’ lagi maka tidak ada ampun, tidak ada lagi peradilan tetapi langsung keluar dari bumi Nusantara. Sehingga kedua belah pihak (yang menentang dan yang membelanya) sama-sama enak. Yang satu tetap bisa memperkarakannya di lain waktu, yang lain tetap bisa mendapatkan label islam toleran di mata dunia.
Kezholiman tidak terbatas kepada sesama manusia. Tetapi pemaksaan terhadap alam adalah juga salah satu bentuk kezholiman. Suatu wilayah mempunyai keterbatasan ruang bagi penduduk adalah suatu yang pasti. Karena itu bangunan dan penduduknya yang harus di atur bukannya alam yang dipaksa untuk menyesuaikan diri agar dapat menampung pertambahan penduduk. Jika kebanyakan orang islam mengatakan bahwa hal seperti ini mengada-ada maka islam sedang mengalami pendangkalan nilai. Dan kita patut menangis untuk masalah ini. Kami salut dengan pulau Bali. Di sana tinggi bangunan dibatasi dengan ukuran tertentu. Ini adalah salah satu bentuk kearifan alam yang patut di contoh biarpun dari pihak non muslim. Suatu pemaksaan alam untuk reklamasi adalah bentuk lain dari sifat melampaui batas (zholim). Haruskah penggusuran menjadi satu-satunya cara membuat suatu wilayah bersih? Tanpa menghiraukan aspek yang lain. Misalnya daerah Luar-Batang adalah ikon sejarah dan budaya Jakarta. Merombaknya secara total sudah pasti melenyapkan ‘ruh’ sejarah dan budaya yang melekat padanya. Jakarta akan kehilangan ciri kasnya, perlahan-lahan, satu persatu. Kampung-kampung muslim adalah ciri kas Betawi-Jakarta. Jika kampung-kampung ini satu persatu digusur, bukan tidak mungkin Betawi-Jakarta kehilangan muslimnya, satu persatu tersisihkan secara alami berganti dengan corak ehm kagak tahulah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

islam,mahkota islam,moslem,muslim,solusi,solution,sains,technology,teknologi,quran,nusantara