Setiap artikel boleh dicopy dan disebarluaskan, tetapi hendaknya dengan menyertakan link tulisan kami ini. Terima kasih.
UKURAN KEBENARAN MANUSIA






UKURAN KEBENARAN MANUSIA
Ada
sebuah pernyataan menggelitik, yang mengatakan bahwa semua tafsir tidak ada
yang benar secara mutlak. Kebenaran yang mutlak hanya milik Allah dan RasulNya.
Pernyataan seperti ini benar tetapi memerlukan syarat atau kondisi pemahaman
yang benar atas pernyataan itu sendiri. Artinya orang yang mengatakannya
haruslah paham apa yang dia katakan sehingga dapat menjelaskan dengan gamblang
kelengkapan dari pernyataannya. Jika tidak maka pernyataan tersebut merupakan
racun yang berbahaya. Pernyataan tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan
umat kepada ulama. Pernyataan tersebut dapat menjauhkan umat dari ulama.
Pernyataan tersebut dapat menimbulkan penafsir-penafsir liar yang menafsirkan
ayat tanpa ilmu.
Kebenaran
yang mutlak milik Allah dan RasulNya. Setelah Rasul wafat apakah kebenaran
sudah tidak ada lagi? Kebenaran tetaplah abadi karena Rasul tetap ada melalui
ulama-ulama yang telah ittishal kepada diri Rasul. Ulama-ulama yang telah
tersambung ilmunya kepada ilmu Rasul. Ulama-ulama yang telah tersambung
kalbunya kepada kalbu Rasul (Fu’ad). Ulama-ulama yang hidup di dalam kalbu
Rasul. Ulama-ulama yang Haq, wali Muhammadiy, pewaris sebenarnya dari cahaya
Rasul. Penerima sir (rahasia) Rasul. Apakah ulama-ulama tersebut masih ada di zaman
kaum muslim berbondong-bondong menunjukkan bahwa dirinya yang paling moderat
islamnya, paling toleran? Kami pastikan tetap ada hingga datangnya Imam Mahdi
r.a sebagai wali Muhammadiy yang terakhir (semoga Allah SWT berkenan segera
menampilkan beliau r.a karena umat sudah kehilangan panutan. Jare koncoku
ngomong ngene ‘sik ta lah. Lak Imam Mahdi muncul berarti bar ngono
kiamat rek. Lha aku durung rabie. Yak opo lak Imam Mahdi muncul ae gak popo,
tapi kiamate mengko disik ngenteni aku rabi.’). Jika tidak bertemu dengan
wali Muhammadiy (hanya satu wali Muhammadiy di setiap kurun zaman sehingga
sulit melacaknya kecuali sesama wali Qutb) maka ulama-ulama yang hidup dengan
cahaya empat malaikat utama (Jibril a.s, Mikhail a.s, Izrail a.s, Israfil a.s)
sudah cukup untuk dimintai fatwa-fatwanya yang pasti kebenarannya. Karena
mereka tidak berbicara kecuali atas ijin dan kehendak Allah dan RasulNya.
Jika tidak
bertemu dengan wali-wali tersebut bukan berarti ulama yang lain tidak bisa
dipercaya kebenarannya. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang berbahaya
dan kurang memahami rahmat Allah. Masih ada ulama-ulama yang menguasai ilmu
tafsir Al Quran. Bedanya, tafsir yang mereka kemukakan mungkin (terpaksa) hanya
mensolusi satu atau dua kontek pembicaraan. Wali Muhammadiy, seperti salah
satunya Syaikh Abdul Qodir Al Jailani r.a dapat menguraikan satu ayat menjadi
beberapa penafsiran dimana masing-masing tafsir sesuai dengan alam kesadaran
manusia. Sehingga beliau mampu menafsirkan satu ayat Al Quran menjadi 10
penafsiran yang masing-masing tafsir tersebut menjadi konsumsi bagi
masing-masing kelompok manusia. Manusia berdasarkan kesadarannya terbagi
menjadi 10 kelompok. Ada kesadaran lahiriah, ada kesadaran aqliyah (pemikiran),
ada kesadaran qolbiyah (rasa), ada kesadaran ruhiah hingga kesadaran musyahadah
(penglihatan nadhoriah).
Begitu juga dengan tafsir dari surah Al Maidah ayat 51. Ada
beberapa mufassir yang berkompeten, yang benar-benar diakui keilmuannya seperti
sahabat Ibnu Abbas r.a dan Imam Jalaluddin As Suyuti r.a dapat mewakili mufassir
yang ada. Mereka mengeluarkan tafsir tidak berdasarkan hawa nafsu. Bahkan
kebanyakan dari mereka puasa, sholat dan dzikir dulu sebelum menafsirkan suatu
ayat. Tidaklah tepat kalau kita mengatakan bahwa tafsir yang mereka keluarkan
masih dapat diragukan. KAMI KATAKAN DENGAN LANTANG, BAHWA SEMUA TAFSIR YANG
DIKELUARKAN OLEH PARA MUFASSIR SALAF YANG SHAHIH ADALAH BENAR SEMUA. Inilah
rahmat Allah. Kalian dapat memakai setiap tafsir untuk kontek yang berbeda.
Tafsir dari para salafus sholih ibarat jajanan yang bermacam warna. Kalian bisa
mengambil salah satu sesuai dengan kondisi. Bisa jadi hari ini kita kepingin
lemper karena tadi malam istri hanya tidur klenger. Besoknya cuma pingin serabi
karena tadi malam gigit jari (lak podo ae rek). Bercanda biar tidak
tambah runyam permasalahan.
QS. Al Maidah 51 :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa’mu; sebagian mereka adalah auliyaa’ bagi sebagian yang lain. Barangsiapa menjadikan
mereka walla bagi dirinya, maka
sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
Tafsir Ibnu Abbas :
“Wahai
orang-orang yang percaya kepada Muhammad dan Al Quran. (Jangan engkau jadikan
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman) untuk mendapatkan bantuan dan
pemeliharaan. (Orang-orang Yahudi adalah sekutu bagi orang-orang Nasrani dan
sebaliknya) Siapa yang mengikuti kepercayaan mereka secara rahasia maupun
terang-terangan, maka ia adalah kelompok mereka. (Ia menjadi bagian dari mereka)
Wahai orang-orang yang beriman (siapa yang menjadikan mereka teman dengan) mencari
bimbingan dan pertolongan (kepada salah satu dari mereka) di dalam sebuah
persekutuan maka baginya tidak akan mendapatkan perlindungan dan keselamatan
dari Allah. (Allah tidak akan memberi petunjuk) kepada dia yang mempercayai (dengan
kekaguman) orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
Tafsir Jalalain :
“(Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin)
menjadi ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi
sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu
mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya
termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.”
Kedua tafsir diatas kelihatannya berbeda tetapi sebenarnya
keduanya mempunyai ‘ruh’ yang sama yaitu jangan meletakkan kepercayaan kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tafsir dari sahabat Ibnu Abbas dipakai dalam
kontek pertemanan yang saling terikat dalam sebuah persekutuan. Hal ini
berdasarkan asbabun nuzul (latar-belakang turunnya ayat) dari ayat tersebut,
yaitu sahabat Ubadah bin Shamit dan si munafiqun Abdullah bin Ubay terikat oleh
suatu perjanjian untuk saling membela dengan kaum yahudi Bani Qainuqa’. Ketika
Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri
sedangkan sahabat Ubadah berangkat menghadap Rasulullah saw untuk membersihkan
diri dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ dan menyatakan taat hanya kepada Allah
dan RasulNya. Maka bentuk pertemanan seperti ini seharusnya dihindari karena
bisa jadi akan merugikan islam di kemudian hari. Tetapi pertemanan tanpa
perjanjian yang mengikat kedua belah pihak tidaklah mengapa.
Imam Jalaluddin menafsirkan ayat tersebut dalam kontek
kepemimpinan karena menghubungkannya dengan dua ayat sebelumnya (Al Maidah ayat
49 dan 50) dan ayat sesudahnya (Al Maidah ayat 52). Dimana kedua ayat sebelumnya
berbicara mengenai hukum (memutuskan permasalahan). Sedangkan ayat sesudahnya
berbicara tentang kesejahteraan (dimana dengan latar belakang Abdullah bin Ubay
ragu dipimpin Rasulullah yang saat itu masih kekurangan, sehingga lebih memilih
Yahudi yang lebih berkecukupan). Tidak bisa tidak, seorang pemimpin
mempengaruhi aturan yang berlaku. Imam Jalaluddin membuat penafsiran tersebut
sebagai bentuk pencegahan umat islam terjebak dalam situasi dimana mereka harus
tunduk kepada hukum jahiliyah, misalkan menghalalkan makan daging anjing,
menghalalkan lokalisasi pelacuran, menghalalkan minuman keras dan sebagainya.
Dan dari pemimpin yang hanya mementingkan kesejahteraan lahiriah. Sedangkan
orang seperti Rasulullah saw memperhatikan kesejahteraan dalam segala aspek.
Sejahtera ruhnya, sejahtera hatinya, sejahtera akalnya dan sejahtera lahirnya.
Imam jalaluddin As Suyuti menafsirkan surat Al Maidah ayat 51 tidak berdiri
sendiri tetapi mengaitkannya sebagai satu kesatuan dengan ayat-ayat sebelumnya
dan sesudahnya.
Akar
kata Auliyaa’ adalah Waliy (bentuk
tunggal dari Auliyaa’). Al Waliy
adalah salah satu asma Allah SWT. Al Wali adalah Dia yang maha memelihara,
membimbing, menolong, memimpin ke jalan yang benar, maha pelaksana urusan
hambaNya. Pemeliharaan, pertolongan, kepemimpinan, dan keperdulian urusan
hambaNya atas dasar cinta dan pemahaman kebutuhan hambaNya. Auliyaa’ adalah kepada siapa kita berserah
diri untuk dipelihara, dipimpin dan diperhatikan urusan kita. Karena itu
orang-tua dapat disebut sebagai wali anaknya karena memelihara, membimbing,
memimpin ke jalan yang benar, perduli dengan urusan anaknya, memahami kebutuhan
anaknya, dimana anak yang belum dewasa menyerahkan semua urusannya kepada
orang-tua. Seorang guru dapat menjadi wali kelas karena padanya murid-murid
menyerahkan segala urusannya dengan pihak sekolah. Seorang yang mencintai Allah
dan RasulNya secara benar dan sungguh-sungguh dapat menjadi wali bagi kaum
muslim karena padanya kaum muslim dapat menyerahkan permasalahannya dan
mendapatkan bimbingan ke jalan yang benar. Jika mengikuti kelompok yang
menafsirkan ayat secara berdiri sendiri, tanpa dihubungkan dengan ayat yang
lain, berdasar uraian di atas maka kata Auliyaa’
lebih tepat diartikan sebagai pengasuh. Orang-tua adalah pengasuh anak-anaknya.
Mursyid adalah pengasuh ruhani murid-muridnya. Sehingga bisa dikatakan seorang
Mursyid adalah orang-tua ruhani dari anak-anak didiknya. Pemimpin pun dapat
dikatakan pengasuh dari warganya dalam kaitannya dengan bimbingan dan
perlindungan, apalagi jika dikaitkan dengan pengambilan keputusan hukum. Tetapi
pertanyaannya apakah bisa suatu ayat berdiri sendiri? Sedangkan surat Al
Fatihah saja menunjukkan kepada kita bahwa setiap ayatnya saling berhubungan,
bahkan tujuh ayatnya adalah pancaran cahaya (ilmu) dari tujuh huruf di dalam
ayat Basmallah. Misalnya ayat ketujuh adalah penjelasan dan jawaban dari ayat
keenam sedangkan ayat keenam adalah kondisi yang meliputi hati orang yang
bersandar pada pertolongan Allah dari ayat kelima.
Jika
kita memakai bahasa thoriqot untuk menafsirkan surat Al Maidah 51 maka
redaksinya seperti berikut,
“Wahai jiwa-jiwa yang berserah diri,
janganlah kamu menjadikan syaitan dan hawa nafsu menjadi imammu; sebagian
mereka adalah imam bagi sebagian yang lain. Jiwa yang berimam kepadanya, maka
sesungguhnya termasuk pengikutnya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada jiwa-jiwa yang zholim.”
Tetapi bahasa thoriqot (atau bahasa
qolbu) adalah bahasa khusus untuk orang-orang thoriqot. Orang di luar thoriqot
akan menyangkal penafsiran seperti ini. Kami menyadari itu dan tidak perlu
dibahas kebenarannya. Kami mengemukakan ini bukan untuk diikuti tetapi sekedar
menunjukkan bahwa ada beberapa bahasa sesuai dengan alam kesadaran manusia,
bahkan ayat di atas dapat ditafsirkan dengan bahasa ruhiah dan bahasa hakekat.
Imam Jalaluddin As Suyuti r.a pun paham dengan bahasa thoriqot seperti ini
tetapi yang beliau seru adalah kalayak umum, tidak bisa memakai bahasa
thoriqot. Harus memakai bahasa syariat yang menjadi konsumsi umum. Karena itu
beliau menafsirkan ayat di atas dengan kepemimpinan. Sebenarnya kami teramat
prihatin dengan orang-orang yang mengangap kecil keilmuan ulama-ulama seperti
beliau dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Mereka adalah orang-orang yang rela memikul
beban umat dengan mengemukakan suatu penafsiran. Hendak menafsirkan suatu ayat
secara tuntas (mutlak) tidak mungkin karena sasarannya adalah kalayak umum.
Maka dicari jalan mudah dengan memakai bahasa syariat. Orang-orang seperti
beliau sadar, ketika mengemukakan suatu ilmu maka berarti juga memikul beban
dari pengikut ilmu tersebut karena beliau yang nantinya mempertanggung jawabkan
ilmu yang dianut pengikutnya. Tetapi rupanya di zaman ini umat hendak digiiring
untuk memikul beban sendiri, padahal ada ulama-ulama yang ikhlas ingin
meringankan beban umat.
Sebenarnya
makna Auliyaa’ sangatlah banyak. Berikut
beberapa ayat yang juga mengandung kata Auliyaa’
atau waliy;
QS. Al Maidah 55 :
Sesungguhnya waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).
Imam Jalaluddin r.a
menafsirkannya dengan penolong karena ditegaskan oleh ayat sesudahnya yaitu QS.
Al Maidah 56 :
Dan barangsiapa menyerahkan waliynya kepada Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.
Bahwa pertolongan dari
Allah dan RasulNya yang akan melahirkan kemenangan. Kemenangan dengan siapa?
Yaitu kemenangan melawan bujukan nafsu dan syaitan. Yang tidak bisa tidak harus
kita hadapi dalam setiap menentukan suatu langkah dan sikap. Setelah mampu
menang melawan hawa nafsu dan bujukan syaitan maka kehidupannya akan diwarnai
kebahagiaan.
QS. Al Maidah 57 :
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai auliyaa’mu. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu
betul-betul orang-orang yang beriman.
Imam Jalaluddin r.a
menafsirkannya dengan kepemimpinan karena yang (relatif) mudah berbuat zhalim
adalah orang yang memiliki kekuasaan. Pemimipin adalah pihak yang memegang
kekuasaan. Karena pemimpin memiliki potensi (potensi ini mewujud atau tidak
tergantung kepada akhlak si pemimpin) untuk meremehkan pihak yang dipimpin.
Ketika potensi ini mewujud maka bisa menimbulkan sikap mempermainkan
(meremehkan) ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dianutnya tetapi di anut
oleh pihak yang dipimpin.
QS. Fushshilat 31 :
Kamilah auliyaa’mu
dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Imam Jalaluddin
menafsirkan dengan pelindung karena berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu
QS. Fushshilat 30,
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:
"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka
dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Beberapa malaikat akan
diperintahkan Allah untuk menjadi pelindung orang-orang yang benar, teguh dan
istiqomah dalam keimanannya. Malaikat-malaikat tersebut akan mengabarkan
(membisikan) anugerah-anugerah yang menanti mereka berupa surga kenikmatan dan
pemenuhan segala kebutuhan mereka. Sehingga membuat mereka merasa tentram dan
yakin. Malaikat-malaikat tersebut juga memudahkan segala urusan keduniawian
mereka sehingga mereka tidak perlu terlalu larut dan lelah memikirkan
kehidupan.
Di dalam kehidupan ini tidak mungkin terjadi keseragaman.
Orang yang mampu berakhlak luhur tidak bisa menuntut orang lain seperti dirinya.
Ia hanya bisa memberi nasehat tetapi tidak boleh memaksa karena pemaksaan
sendiri bukanlah akhlak luhur. Kita mengkampanyekan sikap toleran tetapi berkata
kasar dan bersikap keras kepada orang yang tidak bisa toleran. Lalu apa bedanya
kita dengan mereka (yang bersikap keras dan memaksakan kehendaknya)? Akhlak
luhur tidak bisa dihasilkan hanya dengan pembicaraan tetapi dengan amal ibadah
yang nyata, sholat yang benar.
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam
(kalbu) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam 96)
Habib Ahmad bin Hasan Al Aththos r.a,
salah seorang ulama hadhramaut, berdasarkan ayat di atas menafsirkan akhlak
luhur adalah sebuah anugerah. Kami sangat setuju dengan penafsiran beliau karena
akhlak luhur adalah salah satu cahaya Rasulullah saw. Orang yang mendapatkan
cahaya Rasul (sehingga mampu berakhlak luhur) adalah orang-orang yang memiliki
iman di dalam hatinya dan diikuti iman tersebut dengan amal sholih. Jika orang
yang beranggapan dirinya berakhlak luhur tetapi masih meninggikan suaranya
terhadap orang yang jauh lebih tua darinya maka akhlak luhurnya hanyalah teori
dan bentukan dari pembicaraan saja tanpa laku nyata dalam riyadhoh dan sholat
yang benar, yang menghasilkan iman yang benar.
Allah
menjadikan umat islam, ada golongan yang keras dan ada golongan yang luwes
dengan tujuan melanggengkan islam itu sendiri. Ada nilai-nilai islam yang perlu
ketegasan dan ada juga yang memerlukan kelembutan. Dan tidak semuanya dapat
dirangkum dalam satu individu. Keberadaan NU dan Muhammadiah sendiri adalah
wujud kecintaan Allah kepada bumi Nusantara. Dengan adanya dua kubu maka
langgenglah islam di bumi Nusantara. Yang satu dominan memperjuangkan rasa,
yang lain lebih cenderung pemikiran. Sesuatu yang sempurna jika rasa dan
pemikiran berjalan seiring, bersinergi menciptakan peradaban yang luhur.
Kita
tidak perlu melarang orang untuk bereaksi jika agamanya, Allah dan RasulNya di
lecehkan. Yang perlu kita larang adalah cara-cara yang liar dan kasar. Allah
memang tidak perlu dibela karena Dia tidak memerlukan pembelaan kita. Allah
akan membela diriNya sendiri lewat hati nurani yang ditanam di dalam diri kita.
Hati akan merasakan ketidak nyamanan jika kita telah berbuat dosa atau
melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani. Kecuali orang yang sudah
terkunci hati nuraninya. Begitu juga jika agama, Allah dan RasulNya dilecehkan,
hati nurani serasa berontak. Hal seperti ini adalah wajar dan fitrah. Hanya
saja pemberontakan ini haruslah dengan cara yang santun dan memahami
permasalahan, bukan hanya ikut-ikutan terbawa arus. Hati nurani adalah
kebenaran (Al Haq) yang di tanam Allah di dalam lubuk yang terdalam (terghaib).
Hati nurani adalah Al Quran. Hati nurani adalah sebagian dari fitrah dimana
Allah menciptakan manusia berdasarkan citraNya. Karena itu pembelaan manusia
terhadap Al Haq (hati nurani) adalah pembelaan Allah sendiri. Hanya saja tidak
setiap orang mampu membela kebenaran dengan cara yang sempurna (benar dan
santun). Tetapi bukan berarti justifikasi untuk melarang membela kebenaran.
Kebenaran
memang mutlak milik Allah tetapi manusia juga mempunyai kebenaran yang mutlak
sebatas standar (Ukuran/Qodar) yang telah diberikan Allah. Qodar dari kebenaran
manusia adalah KITABULLAH. Qodar bagi kebenaran manusia adalah Al QURAN Al AZHIM.
Qodar bagi kebenaran manusia adalah sebatas ilmu Rasulullah saw (bukan ilmu
Allah). Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang setara Rasulullah
saw. Kami katakan ‘perkataan anda benar pada susunan kata tetapi salah dalam
konteknya’.
“Kemudian Kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka
sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir 32)
Dalam kontek kebenaran,
masih ada orang-orang yang mewarisi kitabullah langsung dari Rasulullah saw,
tersambung Qolbunya ke Fuad Rasul, tersambung Bashirohnya ke Nadhor Rasul. Selama
masih ada orang yang mampu Ittishol kepada Rasulullah saw maka jejak kebenaran
Rasulullah masih tetap ada. Orang-orang seperti mereka menjadi ‘wadah’ dari
kebenaran Rasulullah saw. Dan kami tegaskan sahabat Ibnu Abbas r.a dan Imam
Jalaluddin As Suyuti r.a termasuk orang-orang seperti itu.
Fundamental
adalah baik dalam asal katanya. Segala sesuatu tanpa fundament (pondasi) yang
kuat akan runtuh. Tetapi kaum zionis dan orientalis melekatkan frase kata ini
kepada orang-orang yang menginginkan nilai-nilai islam yang murni (islam yang
dipahami oleh para sahabat) sehingga muncullah istilah Islam Fundamentalis.
Tidak semua orang-orang yang disebut oleh dunia barat sebagai Islam
Fundamentalis ini benar dalam perjuangannya, ada yang santun, ada pula yang
kasar dalam penyampaiannya. Bahkan zionis berperan menunggang (membina) pada
kelompok yang keras dan awam sehingga terbentuklah ISIS. Tetapi dunia sudah
terlanjur masuk dalam permainan ‘jebakan kata’ ini sehingga hanya melihat
kepada yang kasar saja, yang santun terlupakan. Dan jadilah Islam Fundamentalis
hanya milik golongan yang kasar. Tokoh-tokoh islam tanpa sadar juga sudah masuk
ranah permainan kata ini, membuat istilah-istilah yang sejenis, masuk permainan
mereka, mengikuti arah tujuan mereka tanpa sadar.
Dalam
kasus seorang calon pemimpin yang telah ‘memperolok’ ayat suci Al Quran (karena
ia telah secara ringan menyebut suatu ayat suci setara dengan alat bualan yang
lain). Mis: si bodor di bohongi pakai
mantra atau si kolor di bohongi pakai sulap. Jika dihubungkan dengan kasus ini
berarti menempatkan suatu ayat Al Quran setara dengan mantra, sihir, atau
sulap. Jika ia meminta maaf maka kaum muslim (semoga) bisa berlapang dada untuk
menerimanya biar tidak timbul dugaan bahwa memperkarakannya adalah untuk
kepentingan politik kubu tertentu. Tetapi haruslah ada perjanjian tertulis jika
ia dikemudian hari melakukan ‘olok-olok’ lagi maka tidak ada ampun, tidak ada
lagi peradilan tetapi langsung keluar dari bumi Nusantara. Sehingga kedua belah
pihak (yang menentang dan yang membelanya) sama-sama enak. Yang satu tetap bisa
memperkarakannya di lain waktu, yang lain tetap bisa mendapatkan label islam
toleran di mata dunia.
Kezholiman
tidak terbatas kepada sesama manusia. Tetapi pemaksaan terhadap alam adalah
juga salah satu bentuk kezholiman. Suatu wilayah mempunyai keterbatasan ruang
bagi penduduk adalah suatu yang pasti. Karena itu bangunan dan penduduknya yang
harus di atur bukannya alam yang dipaksa untuk menyesuaikan diri agar dapat
menampung pertambahan penduduk. Jika kebanyakan orang islam mengatakan bahwa
hal seperti ini mengada-ada maka islam sedang mengalami pendangkalan nilai. Dan
kita patut menangis untuk masalah ini. Kami salut dengan pulau Bali. Di sana
tinggi bangunan dibatasi dengan ukuran tertentu. Ini adalah salah satu bentuk
kearifan alam yang patut di contoh biarpun dari pihak non muslim. Suatu
pemaksaan alam untuk reklamasi adalah bentuk lain dari sifat melampaui batas
(zholim). Haruskah penggusuran menjadi satu-satunya cara membuat suatu wilayah
bersih? Tanpa menghiraukan aspek yang lain. Misalnya daerah Luar-Batang adalah
ikon sejarah dan budaya Jakarta. Merombaknya secara total sudah pasti
melenyapkan ‘ruh’ sejarah dan budaya yang melekat padanya. Jakarta akan
kehilangan ciri kasnya, perlahan-lahan, satu persatu. Kampung-kampung muslim
adalah ciri kas Betawi-Jakarta. Jika kampung-kampung ini satu persatu digusur,
bukan tidak mungkin Betawi-Jakarta kehilangan muslimnya, satu persatu
tersisihkan secara alami berganti dengan corak ehm kagak tahulah.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar