Setiap artikel boleh dicopy dan disebarluaskan, tetapi hendaknya dengan menyertakan link tulisan kami ini. Terima kasih.
GOLDEN MEMORIES






Di
masa mudaku dulu (ABG..cie), musik-musik rasanya kok lebih indah dari sekarang
(apa mungkin telingaku yang dah uzur???). Di zamanku dulu musik dari KLA
Project (Katon Bagaskara),
Dewa 19 (Dani belum
keblinger seperti sekarang. Biarpun ‘sempel’ begitu dia masih satu
komplek SMA denganku)
dan PADI,
masih mendominasi
blantika musik di Indonesia. Musik-musik mereka penebus dahaga akan keindahan
rasa. Seperti orang yang kelelahan berjalan di sengatan terik gurun pasir,
menemukan oase. Ya seperti itulah musik mereka, mengobati kelelahan dan
kepenatan kerja. Dan herannya, sampai sekarangpun musik mereka masih nyaman di
telinga. Tidak usang dan tidak membosankan.
Di
zaman sekarang musik lebih mengedepankan olahan instrumen digital.
Mengedepankan teknologi musik. Musik tidak lagi murni alunan rasa peralatan
asli tetapi sudah termanipulasi oleh nada hasil olahan digital. Kalau tidak
mengikuti tren musik barat, ketinggalan zaman katanya. Jadinya, ukuran
berkualitas tidaknya musik sekarang ditentukan oleh seberapa canggih permainan
digital (remix???) yang dihasilkan.
Ah
.. masa bodoh lah. Aku masih suka dengan musik natural tanpa manipulasi. Biar
orang nyebut kuper, kagak perduli. Biar orang nyebut kampungan, kagak ngaruh.
Kalau sudah nyebut kampungan jadi ingat musik dangdut. Kasihan musik dangdut,
dianak-tirikan oleh media masa musik (dulu…, sekarang malah terbang tinggi).
Memang musik dangdut ada yang asal ‘nggawe’, tetapi lagu-lagu bang Haji
Rhoma aku rasa di atas rata-rata lagu dangdut yang lain. Bahkan sekarang,
dimotori oleh anak-anak D’Academi Asia musik dangdut naik kelas. Lagu-lagu yang
mereka sajikan begitu mantap dan penuh rasa.
Aku
tipe orang yang tidak suka memilah-milah musik. Musik apapun itu, kalau jiwa
menjadi terbang penuh rasa olehnya maka aku acungi jempol kepada penyanyi dan
pencipta lagunya, salut untuk mereka.
Duhai
musik dangdut, terbang ..
terbanglah
tinggi ..
Banggakan
kami dengan cita rasamu
Banggakan
Nusantaraku dengan unikmu
Banggakan
Indonesia dengan indahmu
Cengkok
penuh rasa
Menghunjam
jiwa
Mengguncang
kesadaran
Jadilah
yang teristimewa
Satu di
dunia
Musik
bertabur permata
Hiasan
jiwa, zamrud khatulistiwa
Jiwa
membumbung tinggi
Masuk area
tanpa kata
Bergetar
.. bergetar
Hanyut
dalam nada
Bersemayam
di dedaunan surga
Wahai
tangis hematlah
Wahai
riang cukuplah
Wahai
badan tenanglah
(kagak
bisa bang, otomatis goyang .. uhui)
asal
nggak joget seronok
Jalan terus
bung
(becake
dipinggirno disik cak, ayo digeboi)
Lama
tidak menulis di blog jadi nglantur kemana-mana, tetapi nggak papa. Rehat (jarene
wong jowo ngaso disik rek = istirahat) perlu untuk penyegaran. Rutinitas
kerja membuat rasa menjadi beku. Musik dan dzikir menyuburkan kembali kegersangan
jiwa. Ditangan kaum sufi, musik menjadi wahana ekstase (Dzauq = jarene wong
jowo ngetrans, duduk trans tv lho yo, bedo rek). Kini saatnya kembali menuang
kendi air ruhaniah. Kami ingin bicara tentang dunia paralel. Haji dan
Umroh menjadi sarana utama memperkenalkan dan mengakrabi dunia parallel. Pengetahuan
dunia paralel menjadi penting ketika kehidupan sudah terkendali menjadi hanya
memikirkan lahiriah semata. Penting untuk dapat memahami isyarat ghaib di sekitar kita. Bahkan isyarat
ghaib paling banyak terjadi di Tanah Haram, area dua kota suci, Mekkah dan
Madinah. Mekkah dan Madinah, di tataran/lapisan alam ghaib (dunia paralel),
adalah puncaknya. Hanya dengan Umroh atau Haji ruhani kita bersinggungan dengan puncak
tataran alam. Pengalaman dan hikmah yang di dapatkan (nanti) memberi bekas tak
terlupakan, memasuki puncak tataran alam secara fisik biarpun belum mampu ‘melihat’nya.
Kesadaran akan keberadaan alam ‘surga’ dibalik dua kota suci tersebut
yang perlu dipelihara dan dikembangkan dengan ritual doa dan dzikir.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar