Setiap artikel boleh dicopy dan disebarluaskan, tetapi hendaknya dengan menyertakan link tulisan kami ini. Terima kasih.
Panglima Burung






Saudaraku, beberapa hari ini ada
berita yang lagi ramai dibicarakan, yaitu akan diadakannya pernikahan antara (Pangkalima)
Panglima Burung (burung=manuk, mau bercanda ga jadi .. takut soalnya menyangkut
legenda luhur suku dayak, harus kita horamti) dengan Sri Baruno Jagat
Parameswari.
Setelah mencari di mbah google,
ternyata Panglima Burung adalah gelar (sebutan) yang diberikan kepada tokoh
dayak yang mempunyai sikap luhur, mau memperjuangkan kepentingan rakyat dayak. Simpelnya
adalah pemimpin rakyat (suku) Dayak yang diagungkan karena memiliki sikap luhur
(relijius), keberanian (kesatriaan), pengorbanan, kesederhanaan dalam mengayomi
seluruh rakyat Dayak.
Kami mencatat, hanya dua orang
yang patut menyandang gelar Panglima Burung di zaman dahulu dan mereka berdua
sepantasnya mendapat gelar Pahlawan Nasional. Yang pertama adalah seorang
wanita sakti, kami mendapatkan sumbernya dari situs http://suarapakat.blogspot.com/2014/03/panglima-burung-berdasarkan-catatan.html
dan juga situs http://taufikirawan.blogspot.com/2014/05/sosok-misteri-panglima-burung.html#
,
Dari
tulisan Syamsuddin Rudiannoor, S. Sos. Nama asli Panglima Burung dari
Kalimantan Tengah adalah Bulan Jihad.
1.
Tabloid Bebas, No. 092, 7-13 Maret 2001, hlm 5.
Kiyai Haji M. Juhran Erpan
Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, berkata: “Panglima Burung
seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga
bergelar hajjah”. Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56) juga mengatakan,
“Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun
berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”.
2.
Tabloid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4.
Dibawah judul: “Bulan Jihad itu
Panglima Burung?”, Anggraeni Antemasmengabarkan: “Pada 52 tahun yang lalu,
tepatnya dalam bulan Januari 1949″, dalam
kapasitas sebagai wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, beliau
pernah menulis tentang “seorang pejuang wanita suku Dayak di udik Barito yang
sakti mandraguna. Konon, dia mengagumkan bukan saja karena keberaniannya
menghadapi serdadu Belanda pada awal abad ke-19 tetapi juga wajah dan sosok
puteri Dayak tersebut adalah cantik namun beringas”. Kata Anggraeni, “Saya
bersamaArsyad Manan, wartawan mingguan “WAKTU” memang telah bersepakat untuk
menulis tentang kepatriotan pejuang wanita Dayak tersebut. Saya menulis untuk
WARTA BERITA dan Arsyad Manan untuk WAKTU. Sumber utama kami adalah dua orang
tokoh Dayak Kuala Kapuas yaitu Willem Anton Samat dan Adonis Samat(ayah dan
anak), yang sama-sama senasib dengan kami sebagai orang politik“Republikein”
yang tertawan masuk “Interneerings camp” Belanda pada clash II tahun 1948 di
Banjarmasin. WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut
keberaniannya luar biasa sekali.
3.
Tabloid Bebas, No. 093, 14-20 Maret 2001, hlm 4-5.
Dalam masa perjuangannya melawan
kaum kafir kolonialis Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik memiliki
beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya Ilum atau Itak,
namun ada pula nama popular lain yang disandarkan kepadanya yaitu Bulan Jihad.
Kabarnya, nama Bulan Jihad dipakai Panglima Burung sebagai nama Islamnya dan
dia memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha (https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Zaleha)
kawan akrab seperjuangannya. Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri
Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar
hingga memasuki kawasan Barito Utara dan Selatan, dengan semboyannya: “Haram
Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.
Dan karena ceritera kepahlawanan ini
tetap diragukan orang maka Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan
Bapak Tjilik Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun
1950 menanyakan kebenaran kisah ini. Tjilik Riwut membenarkan keberadaan
srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan pejuang wanita asli
Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti,
“nama Bulan Jihad sangat terkenal di antero Barito Hulu dan Barito Selatan”,
imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan
senjata, bisa menghilang dan melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia
selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”.
Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat
(1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti
Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905,lalu pada awal tahun 1906 Gusti
Zaleha berkeputusan turun gunung untuk menyerah kepada Belanda, lantas apa
keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap
haram menyerah dan tetap bertekad meneruskan perjuangan sekaligus meneruskan pengembaraannya.
Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.
Dengan berat hati keluarlah Gusti
Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dibawa oleh kaum penjajah
ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.Sejak perpisahan itu, tidak banyak
orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya.
Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke
Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru
mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu
mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah meninggal dunia (24 September
1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu
pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas
kisah seorang muslimah bernama Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi
perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati
masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.
Dari bukti-buki sejarah yang
ditunjukkan para pendahulu kita dengan gamblangmenyatakan fakta bahwa kebulatan
tekad persatuan, tekad perjuangan mengusirpenjajahan dari negeri ini, tertuang
sangat jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari,
Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan
Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya,
adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan,
Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun
Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Alikemudian, “Masa itu telah ada
kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang
sesamanya sampai kapan pun juga”.
Yang kedua adalah seorang pejuang
(laki-laki) di zaman pendudukan jepang, bernama Burung Mansau. Kami mendapatkannya
dari situs http://suarapakat.blogspot.com/2014/03/panglima-burung-berdasarkan-catatan.html
dan juga situs http://suaradayak.blogspot.com/2014/03/surat-sultan-hamid-ii-kepada-solichim.html
,
1.
Buku Tanah Mandor bersimbah darah , Karangan :
Syafaruddin Usman
2. Berita Panglima Burung masuk ke Pontianak untuk
mendesak agar segera diangkat Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan
kekuasaan.
3. Dari Buku Sultan Hamid II , Sang Perancang Lambang
Negara 'Elang Rajawali - Garuda Pancasila'
“mengenai simbol ini inspirasinja
saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga
bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di
Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika
itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang
Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB,”
4.
Pontianak Post , berita
kematian Panglima Burung.
Kami tidak akan membahas mengenai
pernikahan itu sendiri tetapi yang hendak kami sampaikan adalah mengenai
isyarat di balik perstiwa tersebut. Kejadian tersebut merupakan suatu
perlambang, sebagai perlambang lebih lanjut dari kejadian ‘Blue Moon’ yang sudah
terjadi sebelumnya.
Fenomean ‘Blue Moon’ adalah
fenomena alam dimana orbit bulan mencapai titik terdekatnya dengan bumi. ‘Blue
Moon’ adalah fase purnama yang paling sempurna. ‘Blue Moon’ adalah fungsi
sempurna dari bulan dalam hal kedudukannya sebagai pemberi cahaya penerangan ke
bumi di waktu malam. ‘Blue Moon’ adalah isyarat akan tercapainya ‘qodar’ (kadar/kapasitas)
dari seorang sufi pencari kebenaran dalam menerima (warisan) ilmu dari
Rasulullah saw, sebagaimana bulan menerima secara sempurna cahaya dari
matahari. Rasulullah saw adalah matahari ilmu, gudang ilmu, kota ilmu. Inilah yang
dimaksud ‘Ittishal’, tersambungnya kalbu seorang sufi ke kalbu Rasulullah saw. Dan
dialah Imam Mahdi r.a.
Penulis tidak dapat memastikan
keberadaan beliau. Di Nusantara ini atau di tempat lain? Tetapi ‘Blue Moon’
mengisyaratkan beliau berada di belahan bumi barat (eropa) karena ‘Blue Moon’ terlihat
secara sempurna di belahan bumi barat. Kembali kepada cerita pernikahan
Panglima Burung dan Sri Baruno Jagat Parameswari, sebenarnya burung merupakan
perlambang dari para Malaikat dan orang-orang yang mampu mencapai kedudukan malaikat.
Jadi Panglima Burung adalah panglimanya malaikat. Ada empat penghulu atau
pemimpin para malaikat, yaitu Sayyidina Jibril a.s, Sayyidina Mikhail a.s,
Sayyidina Izrail a.s, dan Sayyidina Isrofil a.s. Dalam kasus Raja Agung
Dzulkarnain, beliau menjadi manifestasi dari cahaya Malaikat Isrofil a.s. Beliau
didampingi oleh Nabiyullah Khidir a.s. dalam setiap kesempatan perjalanan dakwahnya.
Beliau adalah Raja Agung sekaligus panglima perang. Jadi segaris dengan legenda
Panglima Burung dari suku Dayak. Bukan berarti orang yang sama, tetapi sama
dalam hal perlambang. Panglima Burung mewakili ibarat dari manifestasi cahaya
malaikat, sedangkan Ratu Laut Pantai selatan mewakili ibarat penguasa lautan
yaitu Nabiyullah Khidir a.s sang Baruno.
InsyaAllah kami akan
menjelaskan semuanya dalam sebuah buku (yang sedang kami kerjakan) tentang sinergi dua inti kehidupan ini. Semoga Allah
memberiku taufik dan kekuatan untuk menyelesaikan buku tersebut. Amiin.



